Diskusi Dosen  2022 Seri 1: Fenomena Baduy Mualaf: Tinjauan Historis-Sosiologis Konversi Agama
Diskusi Dosen 2022 Seri 1: Fenomena Baduy Mualaf: Tinjauan Historis-Sosiologis Konversi Agama
Gedung FITK, BERITA FITK Online - Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki karakteristik yang khas. Sebagai suku yang memiliki komitmen dalam mempertahankan system tradisi, Suku Baduy menghadapi berbagai kendala terutama saat berhadapan dengan isu-isu modernitas pada era global, tidak terkecuali saat berinteraksi dengan masyarakat Islam yang ada di sekelilingnya. Keberadaan suku Baduy seperti itu memberikan daya tarik bagi banyak peneliti untuk mengkaji secara mendalam. Salah satu yang menarik perhatian adalah fenomena Baduy Mualaf yang menjadi tema diskusi pada kegiatan DIskusi Dosen Seri 1 2022 yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam sambutannya, Dekan FITK, Dr. Sururin M.Ag. menguraikan bahwa Diskusi Dosen FITK merupakan kegiatan rutin bulanan yang diadakan di lingkungan FITK dan dapat juga diikuti oleh umum. Kegiatan ini, untuk tahun 2022 dikelola oleh Dosen-Dosen muda yang dipimpin oleh Dr. Khalilah, M.Pd dkk. Diskusi Dosen FITK diselenggarakan sebagai bentuk pertangungjawaban FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama dalam kapasitas sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pusat keilmuan yang mengusung nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Selain itu, Dr. Sururin M.Ag. juga melengkapi sambutannya dengan menjelaskan program-program FITK lainnya di sepanjang tahun 2022, antara lain Seminar Nasional dan Seminar Internasional. Pada Diskusi Dosen seri 1 2022 ini, hadir Prof. Jajang Jahroni, Ph.D. (Ketua LP2M) sebagai pembicara kunci; Dr. Mohammad Arif, M.Pd. (Dosen PIPS) sebagai narasumber; dan Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si. (Dosen PIPS) sebagai pembahas. Diskusi Dosen digelar pada hari Senin tanggal 31 Januari 2022 pukul 13.00 s.d. 15.40 WIB melalui aplikasi Zoom Meeting dan dapat diikuti juga melalui youtube tersebut dihadiri 90 peserta dari berbagai daerah dan mancanegara termasuk dari Australia. Prof. Jajang Jahroni, Ph.D. mengawali diskusi ini dengan menyatakan bahwa studi konversi agama merupakan studi yang menarik dalam kajian antropologi yang bisa diaplikasikan dalam berbagai suku beragama lokal, termasuk Suku Baduy. Selain memiliki sistem kepercayaan yang khas, Suku Baduy pada umumnya memiliki ciri fisik yang juga khas, seperti tinggi badan kurang lebih 160 cm, berperawakan ramping, sigap, tegap, gesit, dan lincah. Mereka menggunakan pakaian hitam, menggunakan iket, tidak menggunakan alas kaki, dan tidak menggunakan kendaraan. Studi konversi agama dalam kajian antropologi merupakan studi yang banyak dilakukan oleh peneliti. Suatu fenomena yang umum terjadi pada kehidupan modern adalah ketika suku yang memiliki keyakinan lokal melakukan konversi ke dalam agama-agama besar dunia. Dr. Muhamad Arif, M.Pd. kemudian merinci hasil-hasil penyelidikan tentang fenomena Baduy Mualaf yang dikaji dalam perspektif historis-sosiologis. Ia menyatakan bahwa sistem kepercayaan (mitologi) yang berkembang pada suku Baduy sejak awal sudah berhubungan dengan Islam. Itu terlihat pada keyakinan mereka bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan bernama Adam, Nabu Muhammad adalah pembawa selamat, dan sebagainya yang terdapat pada Sadat Buhun (Syahadat Baduy) yang diikrarkan oleh lelaki Baduy menjlang nikah. Oleh karena itu Dr. Muhamad Arif, M.Pd. melakukan tinjauan sejarah terkait konversi keagamaan pada suku Baduy. Dr. Muhamad Arif, M.Pd. menengarai fase-fase sejarah yang menandai proses konversi Suku Bauy menjadi penganut Islam yang berlangsung cara damai. Pertama, Era Maulana Hasanuddin (1552-1570), putera kedua Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas Kawunganten (puteri Prabu Surosoan). Ketika Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun (pewaris kekuasaan Banten) menyerahkan kekuasaan Banten kepada Maulana Hasanuddin setelah kekalahannya daam arena sabung ayam, maka kita dapat melihat bahwa media perkawinan dan media politik menjadi saluran Islamisasi. Perlu dicatat bahwa ada salah satu versi yang menjelaskan bahwa Prabu Pucuk Umun dan tentaranya yang menyingkir ke Kawasan Kanekes merupakan cika bakal Suku Baduy. Kedua, era Maulana Yusuf (1570-1580 M), yang berhasil menaklukkan Kerajaan Pajajaran pada 1579 M yang dilanjutkan dengan kegiatan pengislaman melalui para ulama yang dibawa serta. Daerah takhlukan yang sudah diislamkan dijadikan vasal Kesultanan Banten dengan kewajiban membayar pajak. Menariknya, pada masa Maulana Yusuf inilah untuk pertama kali Suku Baduy melakukan SEBA secara rutin setiap tahun sebagai pengakuan kekuasaan Banten. Pada era Maulana Yusuf pula masyarakat Baduy meminta agar Kesultanan Banten mengirimkan penghulu agar masyarakat Baduy dapat meresmikan pernikahannya secara Islam. Para penghulu dan pengikutnya itulah yang menjadi cikap bakal Kampung Cicakal Girang yang mayoritas masyarakatnya merupakan pemeluk Islam. Fenomena ini menunjukkan bahwa Islam semakin dikenali oleh masyarakat Baduy melalui media politik dan pendidikan. Ketiga, era Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), berdasarkan penuturan Hussein Djajadiningrat yang mengaku sebagai keturunan seorang anak Puun Cibeo (Baduy), yakni Wirasoeta. Wirasuta direstui oleh ayahnya untuk mengabdi di Kesultanan Banten hingga karirnya mlesat menjadi seorang Patih Banten dan bahkan dinikahkan dengan Puteri Sultan Ageng Tirtayasa. Di sini terlihat bahwa media politk dan media perkawinan semakin mendekatkan Suku Baduy dengan agama Islam. Keempat, era kemerdekaan, dimana pada tahun 1978, Depsos berkerja sama dengan Kanwil Kemenag Jawa Barat melaksanakan proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Kampung Margaluyu dan Kampung Cipangebar, Desa Leuidamar. Tahun-tahun berikutnya dibangun kampung-kampung baru, seperti Kampung Kopo I dan Kopo II. Pembangunan permukiman Baduy terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan maupun lembaga masyarakat. Seiring dengan kegiatan permukiman tersebut terjadi dakwah Islamiyah yang diperkuat dengan penguatan Pendidikan ke pesantren sehingga terjadi konversi agama pada sebagian masyarakat Baduy menjadi pemeluk Islam. Saat ini terdapat beberapa kampung Baduy yang mayoritas masyarakatnya telah memeluk Islam, yakni Kampung Pal Opat (Desa Jalupangmulya), Kampung Margaluyu (Desa Leuwidamar), Kampung Kompol (Desa Sangkanwangi), Kampung Ciater (Desa Sangkanwangi), Kampung Landeuh (Desa Bojongmenteng), dan Kampung Lembah Barokah (Desa Ciboleger). Sebagai penutup, Prof Ulfah Fajarini menyampaikan secara antroplogis  suku Baduy terbagi atas dua kelompok baduy, yaitu Baduy Dalam (Suku Baduy yang masih meyakini  Agama Selam Sunda Wiwitan) dan Baduy Luar (sebagian masih menganut Agama Selam Sunda Wiwitan dan sebagian mulai menganut agama Islam). Kedua kelompok ini memiliki beberapa perbedaan dari segi keyakinan terhadap sistem tradisi dan penampilan. Jika kita melihat nilai-nilai dan prinsip hidup suku Baduy, kita akan mendapati profil suku yang sangat kuat memegang adat istiadat, menghormati leluhur, arif, dan menjaga kelestarian alam. Selain itu, masyarakat Baduy juga memiliki pola pikir yang sangat unik, mereka sanggup menjaga keseimbangan dalam urusan duniawi, sekaligus kuat dalam melakukan spiritual keagamaan. (Tim Disdos FITK/MusAm)