Mudik, Perjalanan Spiritual Sarat Makna
Mudik, Perjalanan Spiritual Sarat Makna

Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata udik yang mengandung makna dusun, desa atau kampung. Selama ini kesan udik cenderung berkonotasi negatif, kadang dikaitkan dengan kebodohan, kejumudan, ketertinggalan atau kampungan. Padahal, dalam pengertian lebih luas, mudik bermakna mereguk kembali semangat kampung yang identik dengan gotong royong, kesetiakawanan, kebersahajaan, dan persaudaraan untuk dibawa lagi bila para pemudik kembali ke komunitas di mana mereka tinggal.

Tahun 2023 ini, tradisi mudik telah dimulai. Setiap menjelang hari raya Idulfitri, umumnya masyarakat Indonesia yang tinggal di kota-kota besar kembali menuju kampung halaman masing-masing. Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik ke kampung halaman. Sebuah tradisi yang begitu mengakar di masyarakat. Tradisi mudik yang menyambut datangnya hari raya Idulfitri sudah menjadi ritual (wajib) tahunan yang dilakukan umat Islam Indonesia.

Tradisi mudik menjadi tradisi tahunan yang selalu menarik untuk dibahas dan diceritakan. Umumnya, orang memilih mudik sebelum Syawal, beberapa yang lain, memilih setelahnya. Pada dasarnya, mudik merupakan istilah umum yang disematkan pada mereka yang pulang kampung dan tidak terbatas pada periode waktu tertentu. Setiap orang yang pulang kampung disebut mudik.

Namun pada perkembangannya, mudik diartikan sebagai pulang kampung saat menjelang lebaran. Alasannya, lebaran merupakan momentum yang paling banyak dimanfaatkan untuk pulang kampung karena sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual yang sarat makna, selain pemerintah juga biasanya menetapkan waktu libur nasional cukup lama.

Hingga pada akhirnya, jika kata mudik itu disebut, secara spontan masyarakat Indonesia akan membayangkan mudik lebaran dengan segala hiruk pikuknya yang menyita waktu, mulai dari perjalanan yang panjang, macet, berdesak-desakkan, panas, dan lain sebagainya. Tetapi, semua itu tidak mengurangi masyarakat Indonesia untuk tetap mudik ke kampung halaman.

Di Indonesia, daya tarik mengikuti mudik sangat kuat karena ikatan komunitas masyarakat Indonesia amat kental. Ini tidak lepas dari kondisi geografis yang berpulau-pulau dan bersuku-suku. Primordialisme (kedaerahan) menjadi identitas yang begitu mengakar dan kuat. Siapa pun yang merantau pasti rindu pulang ke kampung dan berkumpul bersama sanak keluarga dan handai tolan. Bahwa seberapa pun jauhnya merantau, pada akhirnya seseorang akan kembali ke asalnya. Pepatah mengatakan, “setinggi-tinggi bangau terbang, ia akan kembali ke sangkarnya".

Tradisi mudik telah menjadi ritual bagi umat muslim Indonesia, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin, pekerja kantoran mau pun buruh pabrikan, atau bahkan pengepul asongan. Berbagai alasan turut menyertai para pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orangtua, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Mudik dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak peduli ia berasal dari golongan apa. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut datangnya hari raya Idulfitri.

Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis atau kebatinan. Di mana timbulnya dorongan keinginan dan kerinduan yang kuat untuk pulang menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa lalu sebagai anak-anak hingga dewasa. Ini merupakan kerinduan psikologis-primordial. Di Indonesia, momentum lebaran dan mudik didukung oleh pembenaran ajaran agama untuk menyampaikan bakti dan permohonan maaf kepada keluarga, khususnya orangtua.

Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa, “Manusia itu homo festivus, suka berfestival. Festival mengemban tiga misi. Pertama, mengenang budaya dan tradisi lama. Kedua, mengenalkan tradisi (lama) itu kepada generasi baru. Ketiga, memperhadapkan tradisi lama pada situasi hari esok berupa penguatan budaya. Nah, mudik itu juga merupakan acara festival. Ada upaya mengenang (tradisi) masa lalu, mengenalkan tradisi itu kepada anak-anak sekarang serta memprediksi peluang pengembangan nilai tradisi untuk hari esok.”

Fenomena mudik ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh ruang dan waktu. Tidak hanya umat Islam yang mempunyai tradisi berkumpul dengan keluarga besarnya. Orang Tiongkok misalkan, berkumpul melalui Imlek. Mungkin juga terdapat tradisi serupa yang dilakukan agama mau pun bangsa lain. Menarik untuk digali dan dipelajari.

Semoga mudik tahun ini penuh dengan kisah sarat makna yang dapat membangun pribadi menjadi lebih matang dan bermanfaat untuk orang banyak. Menebarkan kebahagiaan yang dibawa dari kota dan membawa semangat gotong royong dan kebersamaan saat kembali ke daerah perantauan.

Selamat mudik dan selamat sampai tujuan!

(Oleh: Muslikh Amrullah)