Afirmasi Ma’had Aly
JEJEN MUSFAH, Alumni Ponpes Manbaul Hikmah Tangerang dan Dosen UIN Jakarta
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Agama dan Keagamaan Kemenag mengadakan Workshop Pengembangan Ma’had Aly di Hotel Naripan Bandung, 5-7/10/2016. Pesertanya 13 Kiyai dari Ma’had Aly, dosen, dan peneliti. Di antara agenda kegiatannya adalah merumuskan Standar Nasional Ma’had Aly.
Ma’had Aly (MA) adalah satuan pendidikan tinggi keagamaan yang khas dan unik yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Kekhasan itu tercermin dalam beberapa distingsi yakni MA harus diselenggarakan oleh Pondok Pesantren, berbasis pada kitab kuning, dan tenaga pengajar adalah ulama. Lulusan MA diharapkan menjadi kader ulama.
Saya sebagai salah satu peserta memiliki beberapa catatan. Pertama, penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 71/2015 tentang Ma’had Aly menempatkan MA setara perguruan tinggi keagamaan Islam lainnya. 13 MA telah resmi menjadi lembaga formal. Tantangannya tidak ringan, MA harus mampu memenuhi delapan standar nasional MA yang masih dalam tahap perancangan (akan ada beberapa workshop lanjutan).
Melahirkan standar itu bukan perkara mudah karena disamping harus mengacu kepada delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang dikeluarkan oleh BSNP, juga harus memuat kekhasan yang dimiliki oleh pesantren. Bisa jadi ada penambahan atau pengurangan aspek-aspek yang terdapat dalam setiap standar yang sudah ada itu.
Meski masih dalam proses penyusunan, mudir, kiyai, dan dosen MA sudah harus segera melakukan evaluasi diri terkait kondisi riil dengan kondisi ideal delapan standar nasional MA tersebut. Dengan demikian, diketahui pasti aspek-aspek apa saja yang sudah terpenuhi dan tidak terpenuhi dari standar tersebut. Data inilah yang dijadikan program kerja pengelola MA saat ini. Terbaca juga mana aspek yang bisa dipenuhi oleh MA, dan mana aspek yang bisa dipenuhi oleh pemerintah dalam hal ini Kemenag.
Misalnya, bagaimana ketersediaan dosen tetap dan tidak tetap yang akan mengajar mata kuliah tertentu? Jika ada, bagaimana dengan linieritas keilmuannya? Apakah penentuan Program Sejarah dan Peradaban Islam, Tafsir dan Ilmu Tafsir, atau Fiqh dan Ushul Fiqh di MA tertentu berdasarkan ketersediaan dan kepakaran dosen yang dimiliki pesantren?
Kedua, MA diharapkan mampu melahirkan kader ulama, yang sedianya bisa dilahirkan oleh Prodi Agama di STAIN/S, IAIN/S, maupun UIN/S. Ulama adalah orang yang memahami ilmu-ilmu agama (tafaqquḥ fiddīn) dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ulama yang mampu membumikan kitab kuning, di antaranya bersikap toleran, moderat, seimbang, dan santun. Kelahiran dan pengakuan MA diakui oleh Kemenag untuk menjawab kelangkaan ulama di tanah air.
Kelangkaan ulama bukan semata kegagalan pesantren dan PTKI, tetapi juga karena turunnya minat masyarakat belajar ilmu-ilmu agama. Sudah belasan tahun hingga hari ini Prodi keagamaan sepi peminat, terutama saat IAIN ramai-ramai berubah menjadi UIN. Masyarakat berpikir pragmatis dengan memilih Prodi yang lulusannya jelas melahirkan profesi tertentu, sehingga ada jaminan masa depan.
Tantangan MA akan sama dengan yang dialami PTKI tersebut, yakni langka peminat. Karena itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kamaruddin Amin menjanjikan beasiswa bagi mahasiswa bahkan untuk dosen. Beasiswa ini akan menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa, sekaligus kesempatan bagi MA untuk menyaring lulusan-lulusan terbaik, baik dari pesantren, madrasah Aliyah, maupun lainnya.
Input mahasiswa tidak bisa diabaikan. Meski tidak harus 100 persen, minimal 50 persen mahasiswa harus memiliki kemampuan Bahasa Arab yang bagus karena mereka akan dicetak sebagai ulama. Kabar baiknya, pada 2017 nanti MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) yang sempat dihentikan akan dibuka kembali dalam rangka menyiapkan calon-calon mahasiswa Prodi Keagamaan.
Ketiga, empat tahun ke depan perlu disiapkan pembukaan program magister MA, dan enam tahun ke depan dibuka program doktor MA. Kedua program itu untuk menampung lulusan sarjana MA, sehingga keilmuan mereka cukup memadai sebagai seorang ulama. Opsi lainnya adalah mengirim alumni MA yang berprestasi ke luar negeri untuk melanjutkan S2 dan S3, seperti ke Mesir, Iran, Maroko, Tunisia, atau Saudi. Hal ini tidak masalah karena selain menguasai Bahasa Arab, mahasantri di MA diwajibkan menghafal Al-Quran—sebagaimana standar beberapa kampus luar negeri tersebut.
Karena tidak semua bisa melanjutkan ke program magister, mahasantri harus dibekali keterampilan khusus disamping penelitian dan menulis, seperti ceramah dalam Bahasa Arab, public speaking, dan life skills. Jangan sampai alumni MA berpindah “profesi”, atau meninggalkan peran keulamaan karena tergiur profesi lainnya. Alumni MA diharapkan menjadi ulama, dan (bila diperlukan) wirausahawan.
Adapun menjadi ulama yang mahir menulis dan meneliti tidaklah mudah, tetapi merupakan tujuan yang harus diperjuangkan oleh pengelola MA. Jika ini berhasil, bukan saja akan mengisi kekosongan karya-karya intelektual ulama Nusantara, tetapi akan menjadi daya tarik mahasiswa dan ilmuwan asing belajar Islam ke Indonesia.
Demikianlah, afirmasi pemerintah terhadap MA sudah dan akan terus mengalir. Keberhasilan melahirkan ulama-ulama Nusantara masa depan yang produktif, menebar kedamaian, dan pengembang masyarakat, sangat tergantung kepada kerja dan persatuan para kiyai dan dosen di satu dan antar pesantren di Nusantara.