Bahas Cerita Silat Indonesia, PBSI Gandeng Abdurrahman Wahid Center UI
Gedung FITK, BERITA UIN Online-- Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) bersama Klub Baca Buku Literashinta menggelar diskusi buku Cerita Silat Indonesia: Kho Ping Hoo dan Kebangsaan Kita pada Jumat, (28/2/2020) di Teater Zakiyah Darajat Gedung FITK lt 1.
Klub Baca Buku Literashinta merupakan program Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanity Universitas Indonesia (AWCPHUI).
Didapuk sebagai narasumber periset senior AWCPHUI Dr Toni Deludea dan Dosen Kajian Sastra FITK UIN Jakarta Dr Rosida Erowati MHum, dengan moderator Sekretaris Jurusan PBSI Novi Diah Haryanti MHum.
Acara yang dibuka Ketua Prodi PBSI Dr Makyun Subuki MHum itu merupakan program bulanan Klub Baca Buku Literashinta mengangkat novel Bu Kek Siansu karya Asmaraman S Kho Ping Hoo. Novel ini termasuk dalam khazanah Sastra Melayu Tionghoa, yaitu sastra yang dihasilkan oleh diaspora Tionghoa di Indonesia.
Sementara Toni mengungkapkan ketertarikannya pada tema kebangsaan dalam cerita silat ini karena Kho Ping Hoo membahas kebangsaan bahkan tidak memerlukan BP7 atau Penataran P4.
“Melalui kisah-kisah dunia kang-ouw yang mengangkat nilai-nilai kekesatriaan, sesuai makna asli bangsa, yaitu sadar menjadi bagian dari suatu negara, kita dapat belajar untuk menjadi bangsa,” ujar Toni.
Lebih lanjut, Toni Deludea mengajak peserta diskusi untuk menyadari bahwa cerita silat seperti Bu Kek Siansu diperlukan untuk mengajarkan nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran, keadilan, keberanian, dan kesederhanaan.
Sedangkan, Rosida Erowati membahas Bu Kek Siansu sebagai sebuah alegori untuk negara pascakolonial. Ia menyimpulkan alegori tersebut setelah mempertimbangkan bahwa Kho Ping Hoo telah menjalani kehidupan yang lengkap dari masa kolonialisme Belanda, Jepang, Perang Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru.
“Pengarang kelahiran Sragen pada 1926 tersebut merasakan betul bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kerakusan yang secara langsung dia alami sebagai peranakan Tionghoa di Indonesia,” ujar Rosida.
Oleh karena itu, lanjutnya, Kho Ping Hoo menjadikan karya-karyanya untuk menyampaikan protes yang tidak dapat dia sampaikan langsung.
Diskusi yang berlangsung hangat dengan pertanyaan-pertanyaan bernas dari para peserta yang antusias diakhiri dengan penampilan sivitas akademika PBSI, yaitu dramatic reading nukilan naskah Bu Kek Siansu oleh Ahmad Fauzi (semester 4), serta pembacaan puisi Balada Terbunuhnya Atmokarpo karya WS Rendra oleh Neneng Nurjanah (dosen PBSI).
Di penutup acara, lima seri buku Kho Ping Hoo diberikan sebagai apresiasi kepada peserta yang bertanya. Sebagai informasi, program-program AWCPHUI dapat diikuti di instagram @awcphui. (lrf/mf/nd)