ILMU USHÛL FIQH ITU PENTING
Ilmu Ushul Fiqh merupakan bagian ilmu syariat yang penting untuk diketahui bukan hanya oleh mujtahid tapi juga oleh ummat Islam secara merata meski pada porsi yang terbatas tekait dengan sumber hukum Islam. Kemestian terhadap pengetahuan ilmu yang dianggap “sulit” oleh sebagian orang tersebut sangat beralasan yaitu agar ummat Islam tidak terjebak kepada kualitas terendah dalam keberagamaan yakni pada strata muqallid (mengekor). Statemen terakhir tersebut dapat diperkuat oleh banyak alasan di antaranya bahwa urgensi mempelajari ilmu yang jarang diminati oleh kebanyakan orang tersebut mampu menghantarkan sensibilitas seseorang terhadap keindahan hukum Islam dan dari situ diharapkan dapat membawa pencerahan dalam kehidupannya karena merasa telah dibekali oleh hukum yang diyakini paling benar dan membahagiakan yaitu hukum Allah.
Hal ini diperkuat oleh seorang ulama ushul bernama Imam al-Amidi dalam kitabnya al-Ihkam fi Uhul al-Ahkam yang mengatakan bahwa” capaian mempelajari ilmu Ushûl Fiqh adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syariat yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”. Kewanti-wantian juga didengungkan oleh banyak ulama ushul agar ummat Islam tidak awam terhadap ilmu yang berisi tentang kaidah penetapan hukum Islam tersebut dengan argumen sederhana bahwa dengan pengetahuan seseorang tentang ilmu ushul tersebut dapat memelihara agama Islam yang dianutnya dari penyimpangan dan penyalah-gunaan dalil-dalil syara’, sehingga terhindar dari kecerobohan yang dapat menyesatkan.
Urgensi memeplajari ilmu yang pertama kali dibukukan oleh imam Syafi’i tersebut juga sangat beralasan karena bangunan ilmunya didasari oleh epistimologi yang kuat yang tidak mungkin rapuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah penetapan hukum, ilmu Ushûl Fiqh dilihat dari epistimologinya dibangun oleh ilmu yang diwahyukan (revealed knowledge) dan ilmu kemanusiaan (al-‘ulûm al-insȃniyah). Walaupun kedua macam ilmu tersebut terlihat terpisah tapi sebenarnya masing-masing memiliki hubungan bahkan ilmu itu sebenarnya satu. Pemisahan adalah hanya sekedar untuk memudahkan analisa saja. Ilmu Ushûl Fiqh sebagai hasil ijtihad sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya tidak lepas dari sumber al-Qur’an yang merupakan sumber hukum Islam yang utama.
Hal ini diperkuat oleh Osman Bakar yang mengatakan bahwa “di antara filosof dan ilmuwan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapat pencerahan dari akal Ilahi.” Akal Ilahi dimaksud dapat berarti al-Qur’an sebagai kalam-Nya. Dengan demikian dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan apapun yang yang berkembang termasuk ilmu Ushûl Fiqh itu didasari oleh spirit al-Qur’an yang pada akhirnya harus membawa kepada ma’rifah kepada Allah melalui hukum-hukumNya dalam al-Qur’an. Di sinilah yang membedakan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu sekuler. Hal ini diperkuat oleh “al-Syaibani yang mengatakan bahwa materi pembelajaran dalam pendidikan Islam, termasuk ilmu Ushûl Fiqh semuanya harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits.
Setelah itu barulah kepada sumber hukum cabang yang diproduk oleh manusia yang berusaha mengurai dan menginterpretasi konten dari kedua sumber pokok tadi. Sumber hukum cabang dimaksud dapat berupa ijma (konsensus ulama), qiyâs (analogi), kepentingan umum (maslahah mursalah) dan sesutau yang dianggap baik (istihsân).
Urgensi mempelajari ilmu yang manfaatnya untuk memecahkan problematika hukum tersebut juga sangat beralasan karena dengan secara yang mudah dapat dipelajari tidak seperti anggapan sementara orang yang mengatakan bahwa ushul fiqh itu sulit dan rumit. Mengapa, karena dalam aspek pembelajarannya, ilmu Ushûl Fiqh selalu memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis sejalan dengn karakteristik epistimologinya.
Dari aspek psikologis dalam pembelajaran ushul fiqh selalu diperhatikan aspek intelektual, bahasa, emosi, dan minat. Di tingkat sekolah formal, ushul fiqh baru diajarkan di tingkat Aliyah dan berlanjut di Perguruan Tinggi karena secara psikologis mereka dianggap sudah mampu berpikir kritis. Perhatian terhadap aspek ini penting agar ilmu Ushûl Fiqh dapat dipahami secara baik tanpa mengganggu perkembangan kejiwaan seseorang yang dapat berakibat sikap antipati kepada ilmu tersebut. Sedangkan dari aspek sosial, aspek ini diperlukan untuk mempertegas posisi pembelajaran ilmu Ushûl Fiqh itu dapat ”membumi” tidak mengawang-ngawang, berlaku bagi semua masyarakat dengan identitasnya yang khas dan budayanya yang unik.
Pertimbangan dengan memasukkan dua aspek seperti dimaksud di atas membawa konsekuensi bahwa pembelajaran ilmu ushûl fiqh selayaknya memperkuat ikatan dengan masyarakat dalam menentukan tujuan, menyusun kurikulum dan menentukan metode dan alat pengajarannya selain juga harus peka terhadap perkembangan, perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.