ILMU USHÛL FIQH ITU PENTING
ILMU USHÛL FIQH ITU PENTING
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag (Kaprodi Magister PAI FITK) -

Ilmu Ushul Fiqh merupakan bagian ilmu syariat yang penting untuk diketahui  bukan hanya  oleh  mujtahid tapi juga oleh  ummat Islam secara merata meski pada porsi yang terbatas  tekait dengan sumber hukum Islam. Kemestian terhadap pengetahuan  ilmu yang dianggap “sulit” oleh sebagian orang tersebut sangat beralasan yaitu agar ummat Islam tidak terjebak kepada kualitas terendah dalam keberagamaan yakni pada strata muqallid (mengekor). Statemen terakhir tersebut dapat diperkuat oleh banyak alasan di antaranya bahwa urgensi mempelajari ilmu yang jarang diminati oleh kebanyakan orang tersebut  mampu menghantarkan sensibilitas seseorang terhadap keindahan hukum Islam dan dari situ diharapkan dapat membawa pencerahan dalam kehidupannya karena merasa telah dibekali oleh hukum yang diyakini paling benar dan membahagiakan yaitu hukum Allah.

Hal ini diperkuat   oleh  seorang ulama ushul  bernama Imam al-Amidi  dalam kitabnya al-Ihkam fi Uhul al-Ahkam yang mengatakan  bahwa” capaian mempelajari ilmu Ushûl Fiqh adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syariat yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”.  Kewanti-wantian juga didengungkan oleh banyak ulama ushul  agar ummat Islam  tidak awam terhadap ilmu yang berisi tentang kaidah penetapan hukum Islam tersebut dengan argumen sederhana bahwa dengan pengetahuan seseorang tentang ilmu ushul tersebut dapat  memelihara agama Islam yang dianutnya dari penyimpangan dan penyalah-gunaan dalil-dalil syara’, sehingga terhindar dari kecerobohan yang dapat menyesatkan.

Urgensi memeplajari ilmu yang pertama kali dibukukan oleh imam Syafi’i tersebut juga sangat beralasan karena bangunan ilmunya didasari oleh epistimologi yang kuat yang tidak mungkin rapuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah  penetapan hukum,  ilmu Ushûl Fiqh dilihat  dari epistimologinya  dibangun oleh ilmu yang diwahyukan (revealed knowledge) dan ilmu kemanusiaan  (al-ulûm al-insȃniyah). Walaupun kedua macam ilmu tersebut terlihat terpisah  tapi sebenarnya masing-masing  memiliki hubungan bahkan  ilmu itu sebenarnya satu. Pemisahan adalah hanya sekedar untuk memudahkan analisa saja. Ilmu Ushûl Fiqh sebagai hasil ijtihad sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya  tidak lepas dari  sumber al-Qur’an  yang merupakan sumber hukum Islam yang utama.

Hal ini diperkuat oleh Osman Bakar yang mengatakan bahwa “di antara filosof dan ilmuwan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapat pencerahan dari akal Ilahi.” Akal  Ilahi dimaksud dapat berarti al-Qur’an sebagai kalam-Nya. Dengan demikian dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan apapun yang yang berkembang termasuk ilmu Ushûl Fiqh itu didasari oleh spirit al-Qur’an yang pada akhirnya harus membawa kepada ma’rifah kepada Allah melalui hukum-hukumNya dalam al-Qur’an.  Di sinilah yang membedakan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu sekuler. Hal ini diperkuat oleh “al-Syaibani yang mengatakan bahwa materi pembelajaran dalam pendidikan Islam,  termasuk ilmu Ushûl Fiqh semuanya harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits.

Setelah itu barulah kepada sumber hukum cabang  yang diproduk oleh manusia yang berusaha mengurai dan menginterpretasi  konten dari kedua sumber pokok tadi. Sumber hukum cabang dimaksud dapat berupa ijma (konsensus ulama), qiyâs (analogi), kepentingan umum (maslahah mursalah) dan sesutau yang dianggap baik (istihsân).

Urgensi mempelajari ilmu yang manfaatnya untuk memecahkan problematika hukum tersebut juga sangat beralasan karena dengan secara yang mudah  dapat dipelajari tidak seperti anggapan sementara orang yang mengatakan bahwa ushul fiqh itu sulit dan rumit. Mengapa, karena dalam aspek pembelajarannya, ilmu Ushûl Fiqh selalu memperhatikan aspek  psikologis  dan sosiologis sejalan dengn karakteristik epistimologinya.

Dari aspek  psikologis dalam pembelajaran ushul fiqh selalu diperhatikan aspek intelektual, bahasa, emosi, dan  minat. Di tingkat sekolah formal, ushul fiqh baru diajarkan di tingkat Aliyah dan berlanjut di Perguruan Tinggi karena secara psikologis mereka dianggap sudah mampu berpikir kritis. Perhatian terhadap aspek ini penting agar ilmu Ushûl Fiqh  dapat dipahami secara baik tanpa mengganggu perkembangan kejiwaan seseorang yang dapat berakibat  sikap antipati kepada ilmu tersebut. Sedangkan dari aspek sosial, aspek ini  diperlukan untuk  mempertegas posisi pembelajaran ilmu Ushûl Fiqh itu dapat ”membumi” tidak mengawang-ngawang, berlaku bagi semua masyarakat  dengan identitasnya yang khas dan budayanya yang unik.

Pertimbangan dengan memasukkan dua aspek seperti dimaksud di atas membawa konsekuensi bahwa  pembelajaran ilmu ushûl fiqh selayaknya memperkuat ikatan dengan masyarakat  dalam menentukan tujuan, menyusun kurikulum dan menentukan metode dan alat pengajarannya selain juga harus peka terhadap perkembangan, perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.