LOGIKA BAHASA AL-QURAN (1)
LOGIKA BAHASA AL-QURAN (1)

MUHBIB ABDUL WAHAB

Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab (PBA) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti/memahami” (QS Yusuf [12]: 2)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir menyatakan bahwa Alquran itu merupakan kitab suci paling mulia dan agung (asyraf al-Kutub) yang diturunkan melalui malaikat paling mulia (asyraf al-malaikah), Jibril AS,  kepada Rasul paling agung dan mulia (asyraf al-Rusul), Muhammad Saw dengan bahasa paling mulia dan luar biasa pula, yaitu bahasa Arab. Kemuliaan dan keagungan sumber, proses penurunan, penerima wahyu (Rasulullah), dan bahasa Arab yang digunakan bukan sebuah kebetulan, tetapi merupakan “desain supercanggih” yang sengaja dipersiapkan oleh Allah Swt, untuk menunjukkan kebenaran, kehebatan, keindahan, kekuasaan, dan kedahsyatan-Nya.

Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika ayat tersebut diakhiri dengan sebuah harapan (la’alla) bahwa bahasa Alquran itu dapat dipahami, dinalar, dan dimegerti secara logis. Bahkan menurut Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, redaksi ayat tersebut dipahami sebagai adanya keinginan (iradah, will) Allah Swt untuk menjadikan Alquran itu dipahami, dimaknai, dan dimengerti dengan baik, tidak hanya bagi orang-orang Arab, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang mau mempelajarinya. Meskipun secara linguistik, bahasa Arab itu merupakan media penyampaian wahyu (pesan dan ajaran) Allah, namun eksistensinya sebagai kitab suci mendapat garansi pemeliharaan, konservasi, dan aktualitas dari Allah itu sendiri. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS Al-Hijr[15]:9).

Posisi mulia itulah yang membedakan antara bahasa Arab dengan bahasa lainnya yang ada di dunia. Jika bahasa lain sangat potensial punah dan sirna dari muka bumi seiring dengan perkembangan zaman, maka bahasa Arab mendapat garansi tetap terpelihara, selama Alquran tetap terjaga eksistensinya. Jika bahasa lain tidak memiliki dasar referensi (acuan) dalam proses gramatisasi (taq’id), diksi (pemilihan kosakata), keluasan dan kedalaman maknanya, keindahan gaya bahasa dan stilistikanya, maka bahasa Arab selalu memiliki referensi dalam semua itu, selain terjaga aktualitas dan kontekstualitasnya. Singkat kata, bahasa Arab itu “tidak ada matinya”. Secara historis, bahasa Arab juga terbukti mampu menjadi bahasa ekspansif; tidak hanya dipakai oleh masyarakat Arab yang berada di Jaziarah Arabia, melainkan juga dapat berkembang berbarengan dengan penyebaran Islam (futuhat Islamiyyah), sehingga masyarakat di sebagian besar negara Timur Tengah (perspektif Barat dalam memandang dunia Islam) atau Barat Tengah (perspektif kita dari dunia timur)  semula tidak berbahasa resmi Arab, namun kemudian berubah menjadi berbahasa Arab, seperti: Mesir (semula berbahasa Koptik, Qibtiyah), Sudan, Libia, al-Jazair, Marokko, Tunis, Somalia, dan sebagainya.

Bahasa Arab Alquran sarat dengan dimensi kemukjizatan yang menarik dikaji dan didalami. Alquran sendiri diyakini mengandung kemukjitan dari segi syariah, isyarat ilmiah, kebahasaan dan kebalaghahan (al-lughah wa al-balaghah). Jika demikian, maka bahasa Arab Alquran itu menjadi sebuah keniscayaan untuk dipahami dan dinarasikan. Bahkan penurunan Alquran dengan bahasa Arab juga diorientasikan agar bahasa dan substansinya dapat menjadi pelajaran bahasa umat manusia, sehingga pada gilirannya mereka yang mengambil pelajaran itu menjadi orang-orang bertakwa. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, atau agar (Al-Qur'an) itu memberi pengajaran bagi mereka.” (QS Taha[20]:113). Oleh karena itu, bahasa Arab Alquran itu harus dipandang dan dimaknai sebagai “bahasa yang sarat makna”, dan paling pas sebagai media linguistik yang mampu mengembang tugas linguistik wahyu Alquran. “(Yaitu) Al-Qur'an dalam bahasa Arab, tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka bertakwa. (QS Az-Zumar[39]:28).

Jadi, bahasa Arab Alquran merupakan bahasa yang jelas, sarat makna, bernas, indah, aktual, kontekstual, dan logis, karena memang fungsi diturunkannya Alquran adalah sebagai petunjuk kehidupan bagi manusia (hudan li an-nas). Bagaimana mungkin bisa berfungsi sebagai petunjuk, pedoman, atau panduan,   jika bahasanya tidak jelas dan tidak logis? Oleh sebab itu, bahasa (ayat) Alquran itu satu sama lain saling menjelaskan (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Sementara salah satu target penurunan Alquran dengan bahasa Arab adalah agar umat manusia mengetahui (berilmu) dan mengerti (dengan berpikir logis). “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.” (QS Fussilat[41]:3)

Fakta historis menunjukkan bahwa Alquran telah sukses menginspirasi dan memotivasi para ulama untuk melakukan riset tentang bahasa dan substansi ayat-ayatnya, sehingga muncullah berbagai cabang ilmu keislaman, seperti: ilmu kalam (teologi Islam), ulum al-Qur’an, ilmu qira’at, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya. Dengan kata lain, riset bahasa Arab berbasis Alquran itu tidak pernah selesai, karena Alquran itu bagaikan berlian yang dari sudut pandang manapun kita melihat dan mengkajinya, pasti memancarkan kilauan yang indah, menarik, dan mempesona. Mata air Alquran tidak pernah kering “digali dan ditimba” dengan perspektif keilmuan apapun. Inspirasi Alquran sudah terbukti melahirkan ratusan bahkan ribuan karya-karya tafsir yang telah ditorehkan para ulama. Inspirasi dan sumber daya nilai (SDN) Alquran terus memberi spirit dan rahmat keilmuan bagi siapapun yang meneliti dan mendalaminya dengan kerendahan hati. Dan sebelum (Al-Qur'an) itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. “Dan (Al-Qur'an) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zhalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-'Ahqaf[46]:12)

Salah satu ilmu yang kini sedang ditekuni dan diteliti penulis adalah logika bahasa Alquran. Selama dua tahun terakhir mengampu mata kuliah Logika Berbahasa, penulis merasa dibuat terpana dan terpesona jika bahasan logika itu dikaitkan dengan bahasa Alquran. Ketika menjelaskan logika yang pernah dikembangkan Aristoteles dan ulama Islam, penulis tertantang untuk mengintegrasikannya dengan “logika Qurani”. Oleh karena itu, melalui kolom ini, dengan segala kerendahan hati, penulis akan menyajikan secara serial bahasan tentang logika bahasa Alquran.

Tulisan ini didasari sebuah tesis besar bahwa bahasa Alquran itu sarat dengan prinsip-prinsip berpikir logis. Prinsip-prinsip berpikir logis dalam Alquran itu tidak hanya argumentatif (layak dijadikan sebagai metode beragumentasi), tetapi juga integratif, konstruktif, dan solutif. Sistem penalaran Qurani tidak hanya mencerahkan akal sehat (memberi kepuasan intelektual), tetapi juga memberi solusi konkret dan konstruktif bagi kehidupan manusia. Logika bahasa Alquran juga mendidik kita untuk memilih dan memilah kosakata, frasa, kalimat, dan proposisi (qadhiyyah) secara tepat dan akurat, sehingga pesan dan makna yang disampaikan bernas dan efektif.

Ada beberapa fakta menarik yang menjadi alasan logis dari tesis tersebut. Pertama, logika bahasa Alquran  didasari oleh pilihan kosakata (diksi) dalam redaksi ayat-ayat al-Qur'an itu sungguh tepat, serasi, mendalam, dan kontekstual. Perhatikanlah  ayat yang berkisah mengenai "banjir bah di masa Nabi Nuh AS". Ayat berikut secara logika tidak hanya mengisahkan bagaimana dahsyatnya banjir internasional saat itu, melainkan juga sekaligus memberi solusi agar manusia bisa mengatasi dan melakukan antisipasi agar tidak banjir.

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

"Dan difirmankan: "Wahai bumi, telanlah airmu, dan hai langit berhentilah (menurunkan hujan)", dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan, dan bahtera (Nuh) pun berlabuh di bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang Zhalim." (QS. Hud  [11]: 44)

Pelajaran logika yang dapat dipetik dari salah satu pilihan kosakata ayat tersebut adalah "Wahai bumi, telanlah airmu"! Logika sederhana kita menyatakan bahwa bumi (tanah) ini memang merupakan tempat "bersemayamnya" air. Tanah memiliki rongga-rongga yang melaluinya air meresap dan menetap di dalam tanah. "Telanlah airmu" mengisyaratkan bahwa kalau tidak ingin kebanjiran, maka jagalah bumi/tanah untuk tetap memiliki daya resap yang wajar dan proporsional terhadap air. Tanamlah pepohonan agar akar-akarnya membantu proses penyerapan air hujan sehingga airnya tidak membanjiri pemukiman kita.

Implikasi logis berikutnya adalah janganlah engkau membangun dengan mematikan daya hisap dan daya resap tanah terhadap air... Pembetonan jalan dan pembangunan rumah-rumah di daerah hulu/puncak yang tidak diimbangi reboisasi menjadi awal petaka banjir...Karena itu, selain menanam pohon, buatlah waduk, bendungan, sumur resapan, biopori, dsb yang memungkinkan air hujan (yang deras) itu langsung "ditelan bumi"....Air memang akan selalu mengalir dan mencari tempat yang lebih rendah, dan pasti akan meresap ke dalam tanah jika "daya resapnya" tidak dimatikan dan dihambat atau disumbat oleh ulah salah manusia, baik karena kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan atau perilku tidak manusia dalam membuang sampah, mengotori drainase, tidak menormalisasi sungai, dan sebagainya.

Kedua, selain prinsip pemilihan kata yang tepat sebagai dengan konteksnya, proposisi ayat (bahasa) Alquran itu berbasis fakta takterbantahkan, sangat  logis, integratif, dan kategoristika. Sebagai contoh, dapat disebutkan dalam tulisan ini proposisi dalam surat al-‘Ashr (terdiri 3 ayat), surat terpendek dalam Alquran, yang menurut Imam Syafi’i, kandungan dan nilainya setara dengan sepertiga Alquran. Perhatikanlah dengan seksama isi surat al-‘Ashr berikut: “Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3).

Dari tiga ayat tersebut, dapat dikonstruksi proporsi logis dalam bentuk definisi negatif (ta’rif salbi) berikut: “Manusia yang merugi adalah manusia yang tidak menghargai waktu,  tidak beriman, tidak beramal shalih, tidak saling berwasiat untuk kebenaran, dan tidak pula saling menasehati untuk kesabaran. Sebaliknya, dapat pula dikonstruksi menjadi definisi positif (gta’rif ijabi) berikut: “manusia yang beruntung adalah orang yang menghargai dan disiplinwaktu,  beriman kepada Allah, beramal shalih, saling menasehati untuk kebenaran, dan juga saling menasehati untuk kesabaran. Dalam keseluruhan ayat surat al-Ashr tersebut juga mengandung persoalan yang potensial dialami setiap manusia, yaitu merugi hidupnya. Akan tetapi, dengan kasih sayang-Nya, Allah tidak menginginkan manusia merugi, sehingga Allah kemudian memberi solusi agar tidak merugi, yaitu dengan beriman, beramal shalih, saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Dari tiga ayat singkat itu pula, logika bahasa Alquran menginspirasi kita untuk melakukan penalaran logis dalam bentuk proporsi yang sangat argumentatif. Misalnya saja, proporsi tersebut diderivasi (diturunkan) menjadi proporsi sebagai berikut:

    1. Semua manusia pontensial menjadi orang yang merugi atau beruntung.
    2. Manusia merugi tidak menghargai dan tidak disiplin waktu.
    3. Manusia merugi tidak beriman kepada Allah.
    4. Manusia merugi tidak berperilaku baik dan bermanfaat bagi orang lain.
    5. Manusia merugi tidak berlajar untuk saling menasehati untuk kebenaran.
    6. Manusia merugi anti berkolaborasi dalam hidup penuh kesabaran.
 

Sebagai solusi agar manusia tidak merugi, maka proporsi yang dapat dirumuskan adabah bahwa waktu yang merupakan anugerah Allah itu perlu dimanaj karena waktu pada hakikatnya adalah kehidupan. Manajemen waktu itu merupakan salah satu  kunci sukses hidup manusia. Manusia sukses (beruntung) selalu menghargai dan disiplin waktu dengan berbekal iman, mengembangkan ilmu, memaknai hidup dengan amal shalih, berani menegakkan kebenaran, dan selalu menghiasi diri dengan kesabaran. Kesimpulan logis yang dapat ditarik dari pelajaran logika surat al-Ashr adalah bahwa teologi, metodologi, dan manajemen wal ‘ashri itu merupakan kunci hidup sukses dan beruntung, dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.