LOGIKA BAHASA AL-QURAN (3)
Muhbib Abdul Wahab
Kaprodi Magister PBA FITK UIN Jakarta,
Peminat Kajian Logika Bahasa Alquran
Logika bahasa Alquran tidak hanya akurat dan sangat tepat dalam diksi (pemilihan dan penempatan kosakata) dalam redaksi ayat, tetapi juga argumentatif, sistematis, dan solutif dalam menyampaikan makna atau pesan yang dikandung oleh ayat-ayatnya. Logika bahasa Alquran juga dapat dijadikan sebagai salah satu “model integrasi keilmuan”, karena memadukan antara berbagai disiplin ilmu dalam rangkaian ayat atau dalam konteks ayat, baik konteks internal (siyaq dakhili, siyaq al-kalam, al-maqal) ayat maupun konteks eskternalnya (siyaq khariji, siyaq al-mawqif, al-maqam).
Sebagai contoh, ayat berikut sarat dengan pelajaran logika: (٢٥) وَهُزِّىٓ إِلَيْكِ بِجِذْعِ ٱلنَّخْلَةِ تُسَٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu). (Maryam [19]: 25). Ada beberapa kata kunci yang menarik digarisbawahi dan dinalar, yaitu: goyang, pangkal pohon kurma, menggugurkan, dan kurma masak. Menggoyang menunjukkan (mengandung dalalah) adanya aktivitas fisik berupa gerak. Pangkal pohon kurma menunjukkan bahwa buah kurma itu tidak bisa dijangkau oleh yang menggoyang. Menggugurkan buah kurma merupakan akibat dari aktivitas menggoyang. Sedangkan buah masak menunjukkan musim buah kurma.
Sepintas ayat tersebut berkisah tentang kondisi Maryam beberapa hari sebelum melahirkan bayinya, Isa as. Dalam kondisi “dibully” kaumnya, sehingga tertekan secara psikologis, Maryam kemudian “mengasingkan diri” ke sebuah tempat yang terdapat pohon kurma. “Maka dia (Maryam) mengandung, lalu dia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (QS Maryam [19]: 22). Namun, jika nalar logis dalam ayat tersebut (QS Maryman: 25) dicermati, ternyata sarat dengan penalaran logis. Pertama, menggoyang itu menjadi sebab jatuhnya buah. Buah kurma (ruthab) tidak jatuh tanpa digoyang pangkal pohonnya. Dalam pengertian olah raga, gerak fisik saat hamil (tua) itu penting untuk “melancarkan” proses persalinan. Artinya, jika proses persalinan (kelahiran) janin yang dikandung itu dilancarkan dan dimudahkan oleh Allah, maka diperlukan usaha dalam bentuk gerak fisik. Dengan kata lain, akibat positif (musabbab ijabi) harus diawali dengan sebab positif pula (sabab ijabi).
Dalam konteks ayat tersebut, Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, menjelaskan pohon kurma itu termasuk kategori keras dan tidak mudah digoyang, tidak seperti pohon lain yang jika digoyang pangkalnya, maka buahnya akan berguguran. Pertanyaannya, mengapa Maryam yang dalam kondisi hamil tua, gundah gulana karena dibully kaumnya lantaran hamil “tanpa suami”, letih dan lunglai, masih diperintahkan untuk menggoyang pohon kurma yang keras dan sulit digoyang? Ternyata bukan “hasil” (pohon bisa bergoyang) yang dipentingkan (akibat), tetapi proses dan usaha untuk menggoyang (sebab) itu yang diapresiasi dan dihargai. Dengan kata lain, logika bahasa Alquran menghendaki sebab itu menjadi jalan (kata sabab dalam bahasa Arab itu sendiri salah satu maknanya adalah jalan) menuju akibat atau hasil yang diharapkan. Dengan kata lain, jangan pernah mengharapkan hasil (akibat) jika kita tidak pernah menempuh proses, usaha, dan kerja optimal (sebab) yang mengantarkan kepada akibat atau hasil yang diharapkan.
Kedua, logika bahasa Alquran yang terkandung dalam ayat tersebut ternyata sarat dengan integrasi keilmuan yang menantang kita semua untuk melakukan riset. Buah kurma yang berjatuhan akibat digoyang menandakan bahwa saat menjelang kelahiran Isa as itu merupakan musim pohon kurma berbuah dan buahnya sudah hampir masak. Ilmu tumbuhan (botani) dan biologi idealnya bisa memberi jawaban memuaskan terkait dengan musim kurma berbuah: apakah musim dingin atau musim panas? Hasil dari riset ini, secara teologis, dapat digunakan untuk, misalnya, mengkritisi dan membantah, dengan ilmu klimatologi (‘ilm al-thaqs) bahwa Isa as itu tidak lahir pada bulan Desember (musim dingin), tetapi di musim kurma berbuah. Dengan kata lain, logika bahasa Alquran memberikan ruang nalar yang logis dalam membantah sebuah dogma yang keliru dan sesat, antara lain, karena adanya kooptasi kekuasaan (konsili Nicea) terhadap ajaran agama yang mengharuskan perayaan hari lahir Isa itu “diritualkan” pada 25 Desember. Jadi, kritik historis teologis dalam logika bahasa ayat tersebut dilandasi oleh fakta empirik yang dikonstruksi berdasarkan ilmu botani dan biologi. Inilah salah satu model integrasi keilmuan yang diisyarakatkan oleh ayat tersebut melalui proses penalaran logis dari bahasa Alquran.
Ketiga, mengapa menggoyang dan mengapa pula ruthab? Apa hubungan keduanya dengan persalinan Maryam? Abdul Daim al-Kaheel dalam artikelnya, ‘Alij Nafsaka bi at-Tamr (Terapi Diri dengan Kurma), menjelaskan bahwa kurma merupakan makanan yang sangat baik, bergizi tinggi, sarat vitamin dan serat yang sangat dibutuhkan ibu yang akan melahirkan. Dalam kurma setengah masak (ruthab) terkandung zat-zat yang dapat merangsang otot-otot rahim dan melumasinya, sehingga melancarkan dan memudahkan proses persalinan. Selain itu, ruthab juga sangat baik dan ampuh dalam meredakan pendarahan saat dan pascakelahiran. Dengan nalar sederhana dapat dipahami, bahwa gerak fisik dan nutrisi ruthab dapat membantu proses persalinan secara lancar sekaligus melindungi ibu yang melahirkan dari pendarahan yang membayakan diri maupun bayinya. Dalam konteks, setidaknya terdapat integrasi ilmu gizi, nutrisi, ilmu kesehatan, dan ilmu kebidanan yang sangat diperlukan dalam membantu dan menolong ibu yang akan melahirkan janinnya.
Selain itu, hasil riset yang dikemukakan al-Kaheel tentang manfaat ruthab juga menunjukkan bahwa mengonsumsi ruthab itu dapat mengurangi rasa stress dan menimbulkan relaksasi pada diri ibu yang akan melahirkan. Artinya, nalar integratif keilmuan dalam konteks ayat tersebut juga menghendaki pentingnya pemanfaatan psikologi kelahiran –sementara ini sudah ada psikologi kematian, yang sudah ditulis oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat— untuk menenangkan, merelaksasi, dan menjauhkan ibu yang akan melahirkan dari stress dan tekanan yang kontraproduktif. Oleh sebab itu, dalam ayat sebelumnya, melalui Jibril as, Allah Swt menggembirakan Maryam dengan menyatakan: “Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, "Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS Maryam [19]: 24). Menurut Darwazah Muhammad Izzat, dalam at-Tafsir al-Hadits, turunnya ayat 25 tersebut –berarti diperlukan ilmu asbab an-Nuzul— terkait dengan utusan Nashrani Najran yang menemui Nabi Saw dalam sebuah majelis yang kemudian terjadi perdebatan mengenai kelahiran Isa. Ayat itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa akidah (keyakinan) kaum Nashrani Najran tentang pribadi Isa –yang diyakini sebagai Anak Allah— itu keliru, karena kelahirannya saja seperti kelahiran manusia pada umumnya, yaitu melalui proses persalinan normal didahului dengan minum air bersih dari “anak sungai” dan ruthab yang disediakan oleh Allah Swt. Darwazah secara tegas menjelaskan bahwa logika teologis kaum Nashrani itu keliru dalam “menuhankan” Isa, termasuk dalam menetapkan hari lahirnya.
Jadi, logika bahasa Alquran yang dapat dipetik dari ayat 25 surat Maryam tersebut sarat dengan nalar keilmuan integratif: botani, biologi, klimatologi, sejarah, teologi, ilmu gizi, ilmu kebidahan, ilmu kesehatan, dan ilmu asbab an-nuzul dalam menghadirkan kebenaran ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Artinya, logika bahasa Arab menginspirasi kita untuk berpikir holistik integratif dalam rangka menyelesaikan persoalan teologis, kemanusiaan, dan keilmuan. Wallahu a’lam bi as-shawab!