LOGIKA BAHASA AL-QURAN (4)
LOGIKA BAHASA AL-QURAN (4)

MUHBIB ABDUL WAHAB Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah, - Peminat Kajian Logika Bahasa Alquran -

Salah satu bahasan dalam logika adalah definisi atau ta’rif (definition). Ta’rif dalam bahasa Arab terkadang dipadankan dengan hadd (batasan). Dalam kitabnya, as-Syifa’ pada pasal ta’rif al-mufrad wa al-murakkab, Ibn Sina menyatakan bahwa manusia telah diberikan oleh Allah SWT kekuatan inderawi (quwwah hissiyah) yang dengannya dapat menarasikan, menggambarkan, dan menjelaskan berbagai persoalan yang ada di luar dirinya dengan persepsi atau konsepsi di dalam diri atau pikirannya. Manusia selalu berusaha mengabstraksikan wujud dalam realitas (wujud fi al-a’yan) dan wujud dalam jiwa (wujud fi an-nafs) dengan pengertian, konstruk dan konsep. Memberi definisi sesungguhnya termasuk upaya manusia memaknai aneka “wujud” dalam realitas kehidupan ini dari realitas inderawi menjadi rumusan pemikiran dalam bentuk abstraksi (tajrid).

Membuat definisi mengharuskan kita memahami konsep lima konsep al-kulliyat al-khamsah (five universals concept). Menurut Sayyid Shadiq Sirazi dalam al-Mujaz fi al-Manthiq (A Summary of Logic), kelima konsep  universal itu adalah nau’ (species), jins (genus), fashl (diferentia), al-‘ardh al-khash (particural accident), dan al-‘ardh al-‘amm (common accident). Spesis (nau’) merupakan universal (kulliy) yang anggotanya sesuai dengan esensi dan sekaligus merupakan esensi yang komplit. Realitas dan esensinya sama, misalnya “manusia” dan anggotanya (Ahmad, Umar, Ali, Fatimah, Maimunah, dan sebagainya). Semua adalah manusia, meski namanya berbeda. Sementara jenis (genus) adalah universal yang anggotanya berbeda dari segi esensinya, meskipun masih merupakan bagian dari hakikat esensinya. Jika disebut hewan, maka kata ini tidak hanya tertuju kepada kambing, kuda, ayam, singa dan sebagainya, tetapi manusia juga bagian dari hewan. Sedangkan deferensia (fashl) merupakan universal yang anggotanya bersesuaian dari segi hakikat. Diferensi ini merupakan bagian dari hakikat anggotanya. Misalnya kata an-nathiq (berbicara, berpikir) merupakan bagian dari hakikat manusia.

Adapun aksiden partikular (khusus) merupakan konsep universal yang khusus (spesfifik) berlaku bagi sebuah esensi (hakikat) dan berada di luar hakikat itu sendiri. Misalnya, tertawa itu merupakan universal yang berlaku atau menjadi salah satu sifat manusia, tetapi “tertawa” itu sendiri bukan hakikat manusia. Sedangkan aksiden umum adalah konsep universal yang tidak sepesifik bagi satu hakikat dan sekaligus bukan merupakan esensi atau hakikat itu sendiri, karena aksiden umum bisa berlaku bagi lebih dari satu hakikat. Misalnya “berjalan”, kata ini dapat dinisbahkan kepada manusia, ayam, kambing, kuda dan sebagainya.

 Ta’rif atau definisi pada dasarnya merupakan konstruksi konsep universal sesuai dengan perspektif pemberi definisi terhadap yang didefinisikan (al-mu’arraf). Dalam logika formal (al-manthiq as-shuri), definisi itu dapat berupa: (1) hadd tamm (complete term) seperti: manusia itu adalah hewan berpikir (hayawan natqhiq); (2) hadd naqish (deficient term), seperti: manusia fisik bertumbuh-kembang yang berpikir; (3) rasm tamm (complete description), seperti: manusia itu hewan yang bisa tertawa;   dan (4) rasm naqish (deficient description), seperti: manusia itu fisik bertumbuh-kembang yang tertawa. Dengan demikian, definisi merupakan konstruksi kalimat singkat dan padat yang berisi suatu pengertian yang hanya merupakan satu pengertian, tidak dapat dibandingkan dengan pengertian lain. Oleh karena itu, definisi dalam buku-buku logika itu harus jami’ (komprehensif) dan mani’ (proteksi dari deskripsi keliru yang tidak menunjukkan yang didefinisikan).

Dalam faktanya, definisi terkadang dikonstruksi dengan kalimat nominal, yaitu menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya. Deefinisi nominal dinyatakan dengan mendeskripsikan asal-usul kata atau istilah (etimologi). Misalnya, kata “qira’ah” pada asalnya berarti al-jam’u yang berarti menghimpun, mengumpulkan. Dari makna dasar ini, qira’ah kemudian dimaknai membaca (menghimpun simbol bunyi dengan proses pelafalan atau pemahaman), belajar (menghimpun pelajaran), meneliti dan mengkaji (menghimpung ilmu pengetahuan), dan seterusnya. Dengan kata lain, definisi nominal dapat dirumuskan dengan menggunakan makna yang lazim dikenakan oleh banyak orang seperti makna kata qira’ah tersebut. Selain itu, kita juga dapat membuat definisi real (ta’rif waqi’i) yaitu definisi yang memperlihatkan sesuatu atau benda yang dibatasi dengan menyajikan unsur-unsur yang menyusunnya. Definisi real terdiri atas definisi hakiki, definisi maksud-tujuan, dan definisi sebab-akibat.

Di atas semua itu,  perumusan definisi paling tidak dimaksudkan untuk: (1) memperjelas makna suatu kata atau terma; (2) meniadakan ambiguitas, sehingga makna tegas  dan arahnya jelas; (3) memberikan penjelasan teoritis, karena setiap bidang ilmu pasti mempunyai terma (istilah) tertentu yang khas, spesifik, dan boleh jadi hanya dikenal dalam disiplin ilmu itu; (4) memperkaya perbendaraan ilmiah dan menjadi distingsi dalam setiap bidang ilmu; dan (5) mempengaruhi pemikiran dan pemahaman seseorang terhadap suatu masalah.

Bagaimana Alquran memberikan definisi atau batasan suatu terma? Apakah definisi yang diberikan Alquran tentang suatu terma memenuhi kaidah jami’ dan mani’? Menarik digarisbawahi bahwa Alquran bukan buku logika, namun ayat-ayatnya banyak mengandung pelajaran logika dan berlogika secara ilmiah. Dalam memahami definisi logika bahasa Alquran, pendekatan intertekstualitas (tanashsh) penting digunakan, karena pada dasarnya Alquran itu ayat-ayatnya saling menjelaskan, menafsirkan, memerinci, dan memberi definisi. Pendefinisian sebuah kata atau terma dalam Alquran bisa saling berkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Sebuah ayat boleh jadi hanya berisi penjelasan umum, misalnya kata  “al-birr” dalam ayat berikut hanya dibatasi dengan “orang yang bertakwa”.

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ وَلَيۡسَ ٱلۡبِرُّ بِأَن تَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰۗ وَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِنۡ أَبۡوَٰبِهَاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٨٩

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji." Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Al-Baqarah[2]:189)

Tentu saja definisi kebajikan sebagai kebajikan orang bertaqwa dengan membatasi pelakunya, tidak langsung dapat dipahami dengan jelas. Karena itu, dalam ayat lain misalnya, deskripsi “birr” itu diperinci sebagaimana ayat berikut:

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ  ١٧٧

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah[2]:177)

Dalam ayat tersebut, “birr” didefinisikan dengan penegasian orientasi hidup yang bukan ke timur dan barat, melainkan kebajikan orang yang orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Selain itu, dalam definisi ini diberi penegasan bahwa esensi birr itu adalah orang yang benar (al-ladzina shadaqu); dan orang yang benar dengan sifat-sifat terpuji tersebut itulah orang-orang yang bertaqwa. Inilah salah satu dimensi definisi dalam logika bahasa Alquran: memberi penjelasan dan rincian sifat dan kualitas tertentu sekaligus memberi penegasan dan peneguhan.

Mudah-mudahan bahasan ini dapat dilanjutkan dalam tulisan berikutnya. Selamat membaca semoga bermanfaat.

Kampus FITK, 21 Februari 2017