LOGIKA BAHASA AL-QUR’AN (5)
LOGIKA BAHASA AL-QUR’AN (5)

Muhbib Abdul Wahab | Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peminat Kajian Logika Bahasa |

Tulisan ini merupakan penjelasan lanjutan dari tulisan sebelumnya (Logika Bahasa Alquran 4). Mengutip pendapat James W. Moore dalam The Logic of Defenition,  Aristoteles menganggap definisi sebagai  “a phrase signifying a thing's essence” (sebuah frasa yang menandakan esensi sesuatu). John Stuart Mill menyatakan bahwa definisi itu merupakan sebuah proposisi yang menjelaskan makna sebuah kata. Sedangkan Rudolf Carnap mencirikan definisi sebagai “a rule for mutual transformation of words in the same language” (Carnap 1934: 39).  Dengan demikian, definisi dapat dipahami sebagai aktivitas intelektual untuk memberi dan membatasi makna simbol-simbol, terutama kata-kata dan/atau frasa. Disebut aktivitas intelektual karena definisi yang diberikan oleh para ahli mengenai makna suatu kata dapat berbeda satu sama lain karena aktivitas intelektual pemberi definisi memiliki perspektif (wijhat nazhar) yang tidak sama.

Dalam logika, pemberian definisi itu ada tiga tipe, yaitu definisi leksikal, definisi stipulatif, dan definisi presisi. Definisi leksikal dibuat berdasarkan makna leksikal (ma’na mu’jami) suatu kata sesuai dengan artinya dalam kamus bahasa. Misalnya kata “Alquran” didefinisikan sebagai bacaan sempurna nan mulia. Sedangkan definisi stipulatif adalah pemberian makna pada istilah baru (atau istilah lama digunakan dengan cara baru). Kata “سيارة”  dalam ayat 96 surah al-Maidah, ayat 10 dan 10 surah Yusuf dimaknai sebagai musafir atau orang-orang yang dalam perjalanan; sedangkan kata ini sekarang didefinisikan sebagai alat transportasi beroda empat (mobil). Adapun definisi presisi adalah definisi yang menunjukkan ketepatan (presisi) makna sebuah kata atau terma sesuai dengan penunjukan terminologisnya, sehingga dapat menghilangkan ambiguitas dan ketidakjelasan kata atau terma yang didefinisikan. Misalnya, kata “shalat” –yang arti leksikalnya doa— didefinisikan sebagai perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat dan rukun tertentu. Dalam definisi ini makna leksikal dari kata shalat (doa) dicakup oleh definisi tersebut, karena sebagian besar dari bacaan shalat itu mengandung makna doa.

Oleh karena itu, dalam mendefinisikan suata kata atau terma, beberapa metode (cara) digunakan. Dalam hal dikenal metode definisi denotatif atau teknik ekstensional, metode definisi sinonimi atau teknik definisi intensional, dan metode definisi analitis atau definisi konotatif. Ketika menyebut Hindia, Atlantik, Pasifik, dan lainnya sebagai representasi dari kata “lautan”, dan kemudian terjadi asosiasi contoh lautan dengan makna yang ditunjuk itu sendiri (lautan), maka sejatinya kita sedang membuat definisi secara denotatif. Sementara itu, jika menghadirkan pengertian kata “maut” dan “wafat” –meski tidak sepenuh persis— sesungguhnya kita sedang membuat definisi sinonimi. Sedangkan metode definisi analitis dimaksudkan sebagai pendefinisian melalui genus (nau’) dan diferensia (fashl), dalam arti penguraian yang didefinisikan berdasarkan genus dan diferensianya. Manusia itu dari genusnya adalah hewan, sedangkan diferensianya –dibandingkan makhluk lainnya yang menjadi pembedanya— adalah berpikir atau berakal budi, pengembang ilmu pengetahuan dan peradaban. Jadi, manusia dengan metode definisi analitis ini dapat didefinsikan sebagai hewan atau makhluk yang berpikir, pengembang ilmu pengetahuan dan peradaban.

Bagaimana Alquran memberikan definisi terhadap suatu kata dan terma? Dari beberapa ayat yang dikaji, ditemukan bahwa definisi itu ada yang bersifat induktif (ta’rif istiqra’i), bersifat deduktif (ta’rif qiyasi), dan perpaduan keduanya, definisi deduktif induktif. Perhatikan dan cermati tiga ayat berikut.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّـهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿الأنفال:٢

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿الأنفال:٣

أُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجٰتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿الأنفال:٤

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (QS al-'Anfal [8]:2-4)

Ayat tersebut berupa kalimat nominal (jumlah ismiyyah). Orang beriman didefinisikan sebagai orang yang: (1) bergemetar hatinya jika disebut nama Allah, (2) bertambah imannya jika dibacakan ayat-ayat-Nya, (3) berserah diri kepada-Nya, (4) melaksanakan shalat; dan (5) menafkahkan sebagian rezekinya.  Definisi elaboratif –dalam bentuk penarasian “karakter” dan sifat orang beriman— diakhiri dengan penegasan bahwa orang beriman yang memiliki 5 karakter tersebut itu  adalah orang yang benar-benar beriman, sekaligus dipertegas posisinya di mata Allah sebagai orang yang menempati derajat tinggi, sekaligus memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia. Model definisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai definisi perpaduan deduktif-induktif.

Alquran juga memberikan perhatian penting terhadap pendefinisian sesuatu kata atau terma. Salah satu bentuk “perhatian” adalah pengalihan pembaca kepada pentingnya kata atau terma yang akan didefinisikan dengan kalimat tanya  (jumlah istifhamiyyah). Dalam konteks penelitian, definisi dalam ayat berikut dapat dikategorikan sebagai definisi operasional dari konsep pendusta agama, sehingga pendefinisian semacam ini dapat memudahkan kita –jika diaplikasikan dalam penelitian— untuk membuat indikator pendusta agama, yaitu: penghardik anak yatim dengan segala turunannya: tidak peduli, penelantar, pengabai, dan sebagainya; dan tidak proaktif, tidak peduli, asosial terhadap pemberian makanan (pangan) kepada orang miskin. Dalam konteks pragmatik bahasa, gaya bahasa tanya dalam ayat-ayat berikut juga mengandung kritik internal terhadap umat Islam.

أَرَءَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿الماعون:١

فَذٰلِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿الماعون:٢

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿الماعون:٣

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  (Pendusta agama) itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (QS Al-Ma`un [107]:1-3)

Logika dan gaya bahasa dalam Surat al-Ma’un tersebut sungguh sarat pesan pentingnya kesalehan sosial. Oleh karena itu, ketika para murid KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (18 November 1912)  mempertanyakan, kenapa pelajaran tafsir al-Ma’un tidak pernah pindah ke tafsir surat lainnya walaupun mereka sudah hafal surat dan artinya secara berulang-ulang, Ahmad Dahlan langsung bertanya kepada mereka: “Sudahkah kalian mengamalkan isi surat tersebut?” Akhirnya, logika bahasa dalam surat tersebut dijadikan Ahmad Dahlan sebagai spirit dan teologi gerakan aktualisasi praksis kesejahteraan dan keadilan sosial dalam mengembangkan amal usaha Muhammadiyah dalam bentuk panti asuhan anak yatim (empowering), pendirian rumah sakit dan klinik (healing), pengembangan lembaga pendidikan (schooling) yang kemudian berkembang pesat hingga saat ini.

Definisi induktif (dari elaborasi menuju konklusi, khusus ke umum, rincian ke simpulan) juga ditemukan dalam sejumlah ayat yang diakhiri dengan menggunakan kata “ulaika” (mereka itu), setelah sebelumnya dinarasikan sejumlah ilustrasi, elaborasi, dan rincian deskripsi dari yang didefinisikan. Misalnya saja, definisi “al-muflihun” (orang-orang yang beruntung). Definisi kata ini dapat dijumpai dalam banyak ayat, sehingga perlu direkonstruksi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Perhatikanlah ayat-ayat berikut:

أُو۟لٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ :٥

Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.  (QS Al-Baqarah[2]:5)

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ :١۰٤

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS 'Ali `Imran[3]:104)

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوٰزِينُهُۥ فَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿الأعراف:٨

Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Karena itu, siapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, mereka itulah orang yang beruntung (QS Al-'A`raf[7]:8)

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِىَّ الْأُمِّىَّ الَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى التَّوْرَىٰةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَىٰهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلٰلَ الَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا۟ النُّورَ الَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ ۙ أُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿الأعراف:١٥٧

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung. (QS Al-'A`raf[7]:157)

لٰكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ جٰهَدُوا۟ بِأَمْوٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۚ وَأُو۟لٰٓئِكَ لَهُمُ الْخَيْرٰتُ ۖ وَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿التوبة:٨٨

Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS At-Taubah[9]:88)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى اللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿النور:٥١

Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, "Kami mendengar, dan kami taat." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An-Nur[24]:51)

Dari beberapa ayat tersebut, kita dapat merumuskan definisi “al-muflihun” sebagai orang yang mendapat petunjuk dari Allah Swt, beriman kepada-Nya, mengikuti Rasul-Nya, menyerukan kebaikan, berdakwah amar makruf nahi mungkar, berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, selalu bersikap sami’na wa atha’ terhadap ajaran Islam, dan timbangan kebaikannya berat di akhirat kelak. Jadi, pendefinisian kata atau terma dalam Alquran mengharuskan kita melakukan penelusuran secara tematik terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan yang didifinisikan. (Tulisan ini akan dilanjutkan dalam kesempatan lain).

Ambon-Ponorogo-Kampus FITK, 2 Maret 2017