Meralat Tim Bayangan
Mendikbudristek Nadiem Makarim menuai kecaman dari anggota DPR dan masyarakat terkait pernyataannya tentang tim bayangan (shadow organization) pada forum PBB bertajuk Transforming Education Summit di New York, September 2022. Media massa daring dan luring mengangkat tema ini dalam beberapa hari terakhir.
Keberatan dan keterkejutan publik terhadap tim bayangan ini dikarenakan, pertama, tidak dikenal dan tidak dikenalkan sebelumnya. Setelah ramai dikritik, menteri meralat bahwa mereka adalah vendor. Bertolak belakang dengan pernyataannya di PBB. Publik tetap meragukan klarifikasi ini dan lebih percaya pada pernyataan pertama sang menteri.
Dengan jumlah yang fantastis yaitu 400 orang dan pembiayaannya dari APBN, publik dan DPR berhak tahu, apa dan bagaimana kerja dan peran tim bayangan atau vendor ini. Kemudian bisa dinilai apakah tim ini sesuai undang-undang dan regulasi, atau sebaliknya. Tim dimaksud adalah GovTech Edu yang merupakan anak perusahaan PT Telkom Indonesia.
Kedua, tugas dan wewenang tim ada yang setara dengan pejabat eselon 1 atau 2 bahkan bisa jadi lebih besar dari para pejabat resmi kementerian. Mereka bukan hanya melaksanakan program-program di direktorat tetapi bisa jadi merupakan perancang dan pengambil kebijakan dan program kementerian.
Kehadiran tim atau vendor jumbo nonstruktural itu bisa jadi menunjukkan bahwa, pertama ketidakpercayaan (distrust) pada sistem dan manajemen kerja kementerian yang terlalu birokratis sehingga cenderung tidak efektif dan tidak efisien. Misal, apa pun yang telah didiskusikan dan disepakati oleh tim atau panitia harus dilaporkan dan disetujui oleh pimpinan sebelum dipublikasikan dan dilaksanakan.
Ide dan keputusan bersama kadang bisa dikalahkan oleh selera seorang pimpinan. Kultur birokrasi kantor pemerintahan berbeda dengan kultur birokrasi di kantor swasta. Pengambilan keputusan di pemerintahan cenderung lamban dan berlapis, sedangkan di swasta cenderung cepat dan simpel. Di pemerintahan program follow money, di swasta money follow program.
Kedua, ketidakpercayaan pada kemampuan dan komitmen tenaga ASN kementerian. Padahal terkait akselerasi digitalisasi pembelajaran dan pelatihan kementerian memiliki Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan) yang sebelumnya bernama Pustekkom (Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan dan Kebudayaan). Di samping memanfaatkan tenaga ahli luar sebaiknya diberdayakan juga orang-orang dalam kementerian tersebut.
Kecuali itu, menurut Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kemendikbudristek, menteri dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh minimal 1 sekretaris jenderal, 5 direktur jenderal, 1 inspektorat jenderal, 2 badan, dan 5 staf ahli. Orang-orang ini tentu yang terbaik dan pilihan dalam bidangnya yang seharusnya bisa menjawab masalah-masalah pendidikan, baik di pusat maupun di daerah.
Kinerja para pejabat akan efektif jika statusnya definitif bukan pelaksana tugas atau Plt. Misal, saat ini ada 2 direktur jenderal pelaksana tugas dan 12 direktur pelaksana tugas. Kondisi ini juga mengingatkan publik tentang posisi kosong wakil menteri yang seharusnya ada dan dibutuhkan karena latar belakang menteri yang nonpendidikan.
Permasalahan di atas menyadarkan kita akan pentingnya pertama, taat aturan dan taat asas dalam kepemimpinan dan pengelolaan kementerian. Kita berharap tim bayangan atau vendor itu tidak melanggar aturan. Niat baik menteri jangan sampai jatuh pada maladministrasi. Jumlahnya yang jumbo menimbulkan tanda tanya publik khususnya terkait dana untuk membayar mereka.
Dalam konsep UNDP (United Nation Development Programme) terdapat 4 prinsip utama good governance yaitu akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum. Keberadaan tim di luar kementerian dalam pelaksanaan program-program merupakan hal lumrah tetapi tim ini di luar kewajaran dari segi jumlah, peran, dan pembiayaannya.
Kedua, evaluasi kinerja tim bayangan atau vendor. Apa saja produk kinerja tim dan bagaimana output dan outcome dalam akselerasi digitalisasi pembelajaran dan pelatihan guru. Berapa besar pengaruh aplikasi digital karya tim tersebut dalam meningkatkan hasil belajar siswa dan kompetensi guru?
Ketiga, pemberdayaan sumber daya internal dan eksternal kementerian. Untuk mendukung program kementerian terdapat sejumlah direktorat dan lembaga. Terkait akselerasi digital yang melibatkan pihak luar itu misalnya, seharusnya dikerjakan oleh lembaga Pusdatin dengan melibatkan tenaga ahli dan praktisi luar. Bukan sebaliknya, apalagi tidak melibatkan Pusdatin atau divisi terkait.
Demikian pula dalam setiap perumusan kebijakan dan program harus melibatkan praktisi, pakar perguruan tinggi, organisasi profesi, dan organisasi masyarakat. Dengan cara ini diharapkan kebijakan dan program yang dihasilkan kementerian mencerminkan suara dan kebutuhan publik pendidikan yang beragam, serta minim kontroversi.
Kebijakan yang kontroversial harus dihindari untuk menghindari riak yang tidak produktif. Faktanya, beberapa kebijakan menteri menuai kritik masyarakat dan DPR misalnya organisasi penggerak, peta jalan pendidikan, penghapusan badan standar nasional pendidikan, dan rancangan undang-undang Sisdiknas.
Singkatnya, kebijakan dan sikap menteri harus membumi ke dalam dan ke luar kementerian yang dipimpinnya. Memberdayakan bawahan dan merangkul aneka komponen pendidikan sehingga gerak kementerian menjadi efektif dan efisien serta zero noise.
Tim menteri di luar struktur yang ahli teknologi dan pendidikan perlu bersinergi dengan pegawai dan pejabat ASN kementerian karena mereka kaya akan pengalaman lapangan yang variatif dan pengalaman birokrasi yang berbasis aneka aturan yang rigid. Pemikiran out of the box tidak boleh melanggar aturan dan kultur positif yang sudah ada sebelumnya.
Dengan demikian kita berharap menteri dan pejabat Kemendikbudristek mendapatkan tepuk tangan tidak hanya di luar negeri tetapi juga di dalam negeri. Terakhir diingatkan bahwa akselerasi digital pendidikan harus diikuti tata kelola guru yang bermartabat, merata, kompeten, dan sejahtera. Tanpa guru yang kompeten dan sejahtera, teknologi pendidikan akan mati sia-sia.
Penulis: Jejen Musfah (Dosen Kebijakan Pendidikan FITK, UIN Jakarta) Sumber: Republika, 3 Oktober 2022 (MusAm)