PENDIDIKAN NILAI DAN ORIENTASI HIDUP  MENURUT RASÂ’IL AN-NÛR
PENDIDIKAN NILAI DAN ORIENTASI HIDUP MENURUT RASÂ’IL AN-NÛR

MUHBIB ABDUL WAHAB | Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah | Peminat Kajian Rasâ’il an-Nûr

Ada sejumlah kesan mendalam yang dirasakan penulis setelah membaca karya monumental Badi’uzzaman Said Nursi yang satu ini: al-Kalimât (Kata-kata, petuah inspiratif, uraian reflektif) yang merupakan bagian dari Kulliyât Rasâ’il an-Nûr. Pertama, dalam buku ini, Nursi membahas berbagai topik dengan pendekatan filosofis, logis, dan kontekstual. Ketika membahas kekuatan dan keberkahan basmalah misalnya, Nursi bukan hanya menguraikan makna, fungsi, dan nilai basmalah, melainkan juga kontekstualisasinya dalam kehidupan nyata melalui tamsil atau perumpamaan yang tepat dan menyentuh hati.

Kedua, nasehat-nasehat spiritual yang diberikan Nursi dalam al-Kalimât ini memperlihatkan betapa kekayaan dan pengalaman spiritual Nursi sangat berpengaruh terhadap pola pikirnya yang sederhana, nyata, dan bermakna. Perjalanan hidup Nursi yang penuh tantangan, ujian, dan dalam batas tertentu siksaan dari rezim penguasa membuatnya begitu bijak dan lembut dalam menggelorakan dakwah al-amr bi al- ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Baginya, perjalanan hidup ini harus dipandang sebagai untaian kalimat yang sarat makna. Dan pemaknaan kalimat itu harus sesuai dengan petunjuk Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

Ketiga, pengalaman-pengalaman hidup Nursi agaknya mengantarkannya kepada sebuah pandangan hidup (world view) bahwa segala yang ada atau semua entitas yang di alam raya (makrokosmos) ini merupakan satu kesatuan dengan ayat-ayat Allah yang ada dalam kitab suci-Nya. Karena itu, idealnya semua itu berjalan harmoni, bergerak dalam orbitnya, dan berorientasi kepada ketundukan (istislâm) dan penghambaan diri (’ibâdah) kepada-Nya. Nursi selalu berupaya mengaitkan atau mengontekstualisasikan firman (ayat) Allah dengan ayat-ayat kehidupan nyata, baik yang dialami langsung maupun yang pernah terjadi (sejarah) dan dialami oleh orang lain.

Keempat, kata-kata, tamsil, analogi, dan tausiah-tausiah yang diuraikan dalam buku al-Kalimât, menurut saya, sarat dengan nilai-nilai edukasi. Nursi tampaknya memerankan dirinya sebagai pendidik yang selalu belajar. Belajar dari kehidupan, belajar memaknai hidup, belajar menerjemahakan dan mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan nyata. Sebagai pendidik yang bijak, ia tidak hanya berbicara dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh peserta didiknya (para pengikutnya), melainkan juga intens melakukan dialog, refleksi, dan aktualisasi diri. Tiga kata kunci yang terakhir (dialog, refleksi, dan aktualisasi diri) merupakan pendekatan edukasi nilai yang dinilai efektif untuk membentuk peta koginisi, kesadaran afeksi, dan aktualisasi psikomotik dan integritas moral peserta didik.

Dengan menggunakan pendekatan dialogis dan reflektif, Nursi mampu menghadirkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang tampak sukar dicerna menjadi lebih mudah dimengerti dan diterima akal sehat. Misalnya saja, ketika menjelaskan ayat ”Tidaklah kejadian kiamat itu melainkan sekejap mata atau lebih cepat lagi” (QS. an-Nahl: 77), ia menyuguhkan analog yang mudah dicerna. Katanya, andaikan sebuah planet atau meteor sesuai dengan perintah Allah menabrak bumi yang merupakan negeri jamuan Allah, tentu planet itu akan menghancurkan tempat tinggal kita ini sebagaimana istana yang dibangun selama sepuluh tahun dihancurkan hanya dalam satu menit.

Selain itu, Nursi juga menawarkan pendekatan substantif dalam memaknai dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kendatipun bergerak dari makna kebahasaan dalam memahami ayat-ayat, Nursi selalu mengarahkan pemahaman ayat itu pada fungsi utama diturunkannya al-Qur’an yaitu sebagai petunjuk. Pesan moral dari al-Qur’an, menurutnya, harus dapat mengantarkan manusia kepada kemuliaan maknawi. Mukjizat material yang banyak dikisahkan oleh al-Qur’an, misalnya tongkat Nabi Musa As yang bisa berubah menjadi ular atau dipukulkan pada batu yang keras lalu dapat memancarkan mata air, Nabi Ibrahim As tidak mempan dibakar api, dan sebagainya, juga dimaksudkan agar manusia yang mempelajarinya mampu mencapai kesempurnaan maknawi dari hidupnya.

Sebagai contoh, ketika menjelaskan ayat ”Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama seperti dengan perjalanan sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula)” (QS. Saba’: 12), Nursi menyatakan bahwa salah satu mukjizat Nabi Sulaiman adalah penundukan angin sesuai instruksinya. Ia bisa melintasi perjalanan dua bulan dalam satu hari di udara. Ayat tersebut menunjukkan  bahwa terbuka jalan bagi manusia, dengan teknologi yang super canggih, untuk melintasi jarak tersebut di udara. Sebagai mufassir edukatif, Nursi lalu memberi nasehat dengan menyatakan: ”Cobalah mendekati kedudukan tersebut selama jalannya terbentang di hadapanmu!” Pemahaman yang bersifat material ini kemudian diarahkan kepada pemahaman sufistik. Ia kemudian menyatakan: ”Seolah-olah Swt berkata: ”karena salah seorang hamba-Ku meninggalkan hawa nafsunya, maka Kubuat ia bisa terbang di udara. Wahai manusia, jika engkau membuang kemalasan nafsu, lalu engkau mengerahkan semua hukum sunnah-Ku yang berlaku di alam raya ini, pasti engkau dapat terbang tinggi di udara.”

Buku yang berisi ulasan kalimât demi kalimât hingga kalimat kedua puluh tiga (23) ini tidak hanya memberikan pencerahan (tanwîr, idhâ’ah) bagi pembacanya, melainkan juga menyajikan beragam dialog, kisah, analog, tamsil, tafsir, dan konsultasi spiritual yang sangat dan tetap relevan bagi kehidupan modern. Nursi mengajak kita semua untuk memiliki kesadaran mendalam mengenai pentingnya reorientasi hidup menuju tujuan hidup yang benar yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Menurut Nursi, setidaknya ada sembilan nilai dari pendidikan nilai yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan hidup yang benar dan lurus. Pertama, menunaikan syukur secara komprehensif serta mengukur berbagai nikmat yang tersimpan di perbendaharaan Ilahi dengan neraca indera yang terdapat dalam dirimu.  Dalam kenyataannya banyak manusia yang tidak pandai bersyukur. Akibatnya, kenikmatan dan kebahagiaan hidup menjauh darinya. Kesengsaraan demi kesengsaraan menjadi menu hidupnya.

Kedua, membuka kekayaan nama-nama ilahi yang tersembunyi dengan kunci-kunci perangkat yang tersimpan dalam fitrahmu sekaligus mengenal Allah Swt dengan nama-nama tersebut. Nursi memandang bahwa segala makna dan nilai kehidupan manusia itu bisa diteladani dari al-Asmâ’ al-Husnâ (Nama-nama Terbaik Allah). Keluasan dan keluhuran makna kehidupan Muslim harus mengambil inspirasi dan motivasi dari cerminan al-Asmâ’ al-Husnâ itu.

Ketiga, mengungkap berbagai manifestasi dan keindahan kreasi al-Asmâ’ al-Husnâ yang terdapat dalam dirimu serta menampakkannya di hadapan seluruh makhluk dengan penegetahuan dan kesadaran serta dengan segala sisi hidupmu di galeri dunia. Dalam konteks ini, Nursi hendak menyatakan bahwa konsep tajalli –dalam tasawuf— yang direduksi dari nilai-nilai yang terpancar dari al-Asmâ’ al-Husnâ itu sebenarnya telah di-install dalam diri setiap manusia. Hanya saja, tanpa kesadaran dan pengetahuan tentang Tuhan, manusia tidak akan mampu memanifestasikan nilai-nilai itu. Jika hati manusia penuh noda (kotor), hitam kelam (tidak lagi memancarkan cahaya ilahi), maka mustahil manusia dapat meneladani al-Asmâ’ al-Husnâ dalam hidupnya. Karena itu, diperlukan adanya ibadah, zikir, berdoa, memperbaiki kualitas diri dengan menjalankan syari’at-Nya secara benar dan istikamah. Hidup ini pilihan, bukan semata-mata kenyataan yang harus dijalani. Sebagai pilihan, manusia harus menjalaninya dengan ”kaca mata” (perspektif) atau bantuan sinar (nur) yang Mahahidup dan Maha pencipta kehidupan dengan segala aturan main yang ditetapkan-Nya.

Keempat, memperlihatkan ubudiyah di hadapan keagungan rububiyah Pencipta lewat lisan al-hal dan ucapan. Banyak tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ditampakkan, diperlihatkan, didemostrasikan Allah di alam raya ini. Kebesaran dan kekuasaan itu sebagai cerminan dari keagungan rububiyah-Nya hendaknya membuat manusia semakin yakin (beriman) dan taat dengan hanya beribadah kepada-Nya. Karena tujuan Allah menciptakan manusia (dan jin) adalah agar beribadah kepada-Nya (QS. adz-Dzariyat: 56).

Kelima, menghias diri dengan berbagai perangkat halus insani yang diberikan oleh manifestasi al-Asmâ’ al-Husnâ sekaligus memperlihatkan di hadapan Tuhan sang Saksi azali. Dalam hal ini, kata Nursi, engkau ibarat prajurit yang memakai sejumlah tanda dan simbol yang diberikan oleh penguasa dalam berbagai kesempatan formal, yang kemudian diperlihatkan untuk menampakkan jejak kemurahan dan perhatiannya kepada prajurit tadi. Karena itu, pesan yang hendak ditegaskan Nursi adalah bahwa manusia yang hidupnya bermakna adalah yang bermoral Rabbani, selalu meneladani sifat-sifat Allah, sebagaimana tercermin dalam al-Asmâ’ al-Husnâ-Nya.

Keenam, menyaksikan berbagai fenomena kehidupan makhluk bernyawa dengan dilandasi pengetahuan dan bashîrah (mata batin, mata hati) di mana ini menjadi petunjuk terhadap Penciptanya; melihat tasbîh mereka terhadap-Nya dengan disertai perenungan karena ia merupakan simbol kehidupannya; serta menampakkan ibadahnya kepada Sang Pemberi kehidupan sekaligus bersaksi atasnya di mana ia merupakan tujuan hidupnya. Alam raya berikut makhluk hidup yang ada di dalamnya merupakan ”laboratorium iman dan ilmu” bagi manusia. Siapa yang memanfaatkan laboratorium itu dengan baik, pasti tidak hanya mendapat pengetahuan tentang makhluk yang “diteliti”  dan dipahaminya, melainkan juga dapat mengantarkannya kepada pemahaman dan pendekatan diri kepada Sang Penciptanya.

Ketujuh, mengenal sifat-sifat Tuhan Sang Pencipta  yang bersifat mutlak berikut semua atribut-Nya yang penuh hikmah, lalu mengukurnya dengan pengetahuan, kemampuan, dan kehendak parsial yang Allah berikan untuk hidupmu, yaitu dengan menjadikannya sebagai miniatur dan ukuran guna mengetahui berbagai sifat Tuhan yang bersifat Mutlak tersebut. Mengenal Tuhan yang baik itu harus melalui pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya, sehingga pada gilirannya mampu menyelami dan meneladani kemurahan, kebaikan, kemuliaan, keagungan, dan kehebatan-Nya.

Kedelapan, mengetahui berbagai ungkapan yang berasal dari setiap entitas alam serta mengetahui sejumlah ucapan maknawinya sesuai dengan bahasa masing-masing terkait dengan keesaan Pencipta dan rububiyah Tuhan. Dalam konteks ini, Nursi melihat bahwa semua yang ada di alam raya pada dasarnya merupakan sarana, fasilitas, instrumen, atau media yang jika dipahami dan dimaknai dengan baik pada akhirnya akan membawa kepada tauhid hakiki. Semua merupakan satu kesatuan, semua berasal dari Allah, berjalan menurut kehendak-Nya, dan akan kembali kepada-Nya. Puncak kesadaran kebermaknaan hidup manusia tercermin pada ungkapan ”Inna lillahi wa inna ilahi raji’un” (Sesungguhnya kita ini milik (berasal dari dan hidup karena) Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali, menemu-Nya). Alangkah indahnya kehidupan yang dilandasi oleh kesadaran spiritual seperti itu, sehingga manusia tidak lagi berkompetisi melampiaskan nafsu, syahwat, egoisitas, kepentingan pribadi, dan sebagainya, melainkan selalu ber-fastabu al-khairât (berlomba-lomba dalam kebajikan) dalam rangka menjadikan dunia ini sebagai mazra’at al-âkhirah (ladang investasi akhirat).

Kesembilan, mengetahui berbagai tingkatan kekuasaan ilahi dan kekayaan rabbani yang bersifat mutlak lewat neraca kelemahan, ketidakberdayaan, dan rasa butuh yang terdapat dalam dirimu. Sebab, sebagaimana berbagai jenis makanan dan kelezatannya bisa dirasakan lewat tingkatan lapar dan kadar kebutuhan yang ada, engkau harus memahami tingkatan qudrat (kekuasaaan) dan kekayaan ilahi yang bersifat mutlak lewat kelemahan dan kefakiranmu yang takterhingga. Dalam konteks ini, Nursi mengalogikan perjalanan hidup manusia itu seperti sebuah pendakian gunung yang tinggi dan terjal, dihadapkan pada berbagai kesulitan dan tantangan. Akan tetapi, manakala manusia mampu melampaui dan mengatasi kesulitan itu dengan kekuatan yang bersandar pada kekuatan ilahi, ia ibarat mendapatkan kepuasan batin yang takterkira. Hidup itu harus proporsional, tidak boleh berlebihan, dan melampaui batas kewajaran. Dengan begitu manusia menyadari bahwa dirinya itu faqîr (merasa butuh dan tergantung) kepada Allah. Ia juga merasa dha’îf (lemah dan tidak berdaya) di hadapan kekuasan-Nya yang tak tertandingi. Kesadaran teologis semacam ini pada gilirannya dapat mengantarkannya untuk selalu merasa perlu dengan memohon pertolongan, meromantiskan hubungan spiritual, dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Di atas semua itu, ada hal lain yang juga menarik dari buku ini. Di bagian akhir dari mayoritas al-Kalimât, Nursi mendidik kita melalui doa-doa khas untuk selalu bersikap berbaik sangka kepada Allah dan optimis dalam menjalani hidup ini. Sikap rendah hati semacam ini merupakan cerminan dari pribadinya yang telah mencapai ”titik kematangan spiritual yang tinggi”. Meski beliau sering dipenjarakan, diasingkan, dikucilkan, dan ditekan habis-habisan oleh rejim penguasa Turki yang sekuler, Nursi tetap tegar, tahan banting, dan optimistis. Cahaya Allah yang menyinari hatinya tidak pernah padam oleh perlakuan zhalim penguasa terhadapnya. Justeru tekanan demi tekanan, siksaan demi siksaan, semakin membuatnya yakin bahwa cahaya Islam akan semakin bersinar di muka bumi.

Melalui al-Kalimât ini (aplikasinya diunduh melalui Android dengan mengetik:   مطالعة رسائل النور pada play store), Nursi mengajak kita mendesain ulang, melakukan reorientasi kehidupan kita menuju hidup bermakna, dengan memahami tujuan hidup, melejitkan kekayaan iman, mengapreasisi segala entitas yang ada, dan menyinergikan semua dalam sebuah bingkai tauhid yang disinari Nur Ilahi. Dengan membaca dan menghayati karya monumental tersebut, para pembaca diharapkan tercerahkan, termotivasi dan terinspirasi untuk mereorientasi hidup secara benar dan lurus melalui sebuah proses pendidikan nilai yang efektif, sehingga menemukan makna hidup dan hidup penuh makna yang sejati. Wallahu a’lam bi as-shawâb!