PGRI di Tahun Politik
PGRI di Tahun Politik
Di tahun politik 2019 ini, banyak pihak menyatakan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wapres. Organisasi masyarakat dan ikatan alumni Perguruan Tinggi (PT) tertentu mendeklarasikan dukungan kepada paslon 01 atau 02 secara terbuka. Bagaimana dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)? Organisasi profesi guru terbesar di Indonesia ini netral. Netral Pada masa dipimpin Mohamad Surya (1998-2003 dan 2003-2008), PGRI tidak menyatakan dukungan kepada salah satu kandidat presiden dan wapres. Sebaliknya, pada masa almarhum Sulistyo (2008-2013 dan 2013-2016), tepatnya pada pemilu 2014, PGRI mendukung salah satu calon presiden, yang pada akhirnya kalah. Sekarang di tangan Unifah Rosyidi (2016-2019), PGRI kembali menyuarakan independen. Pada saat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)—yang berafiliasi ke PGRI—mendeklarasikan dukungan kepada kubu 02, Pengurus Besar PGRI  segera mengklarifikasi bahwa ia tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. PGRI tidak berpolitik praktis, tidak mendukung salah satu calon, tetapi menghormati semua partai dan golongan. Mitra Kerja Netralitas PGRI itu dipilih karena anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan posisinya sebagai mitra kerja strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. PGRI adalah organisasi unitaristik, independen, dan nonpartai politik. Netralitas PGRI membuatnya bisa diterima oleh siapa pun yang memimpin pemerintahan. PGRI sebagai organisasi profesi pendidik dan pemerintah saling membutuhkan satu sama lain. PGRI memiliki guru dari Sabang sampai Merauke, dan pemerintah menginginkan pemerataan dan peningkatan kualitas mereka. Peran utama PGRI adalah peningkatan kompetensi, perlindungan profesi, dan kesejahteraan guru. Bersama Kemendikbud dan Pemerintah Daerah, PGRI bekerjasama dalam pengembangan profesionalisme guru. Misal pelatihan kurikulum 2013 dan pelatihan literasi menulis. Menanggapi maraknya kekerasan terhadap guru di sekolah, Polri dan PGRI telah sepakat dalam perlindungan profesi guru. PGRI berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan dan KemenPAN-RB soal Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan guru-guru honor K2 dan nonkategori. Penghapusan batas usia bagi guru honorer yang mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) adalah hasil perjuangan PGRI. Pemerintah daerah, yaitu Gubernur, Walikota, dan Bupati di Sumatera Utara misalnya, atas dorongan PGRI Provinsi, telah memberikan SK dan honor bulanan kepada guru honorer SD, SMP, hingga SMA. Sejatinya, kesejahteraan guru honorer merupakan tanggung jawab pemerintah daerah masing-masing. Ragam kerjasama tersebut berjalan baik karena PGRI memposisikan diri sebagai organisasi profesi yang nonpolitik, yang selalu bermitra strategis dengan pemerintah dari partai apa pun untuk kemajuan pendidikan Indonesia. PGRI membangun komunikasi dengan pemerintah, mulai dari dinas pendidikan, kementerian, hingga presiden untuk perbaikan dunia pendidikan. PGRI juga berjuang lewat penyusunan regulasi bersama DPR. Contoh, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah produk perjuangan PGRI pada masa Mohamad Surya. Pada 2018, Tim PGRI bersama Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) menjadi tim ahli DPD RI dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Guru dan Dosen. Walaupun pengurus PGRI banyak yang terjun ke politik praktis, PGRI sebagai lembaga tetap netral. Atribut PGRI harus dilepaskan saat kampanye. Marwah organisasi di atas kepentingan perebutan kursi kekuasaan dan jabatan politik. PGRI menyiapkan diri bekerjasama dengan pemimpin terpilih, dari partai mana pun, untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. (mf)