Polemik Pemilihan Rektor
Polemik Pemilihan Rektor

Polemik Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah mencuat seiring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Romahurmuziy (Romi), Ketum PPP di Jawa Timur (15 Maret 2019).

Pasalnya, OTT ini dikaitkan dengan jual beli jabatan di lingkungan Kemenag, salah satunya pemilihan rektor yang merupakan hak prerogatif menteri agama. Karena menteri agama berasal dari PPP, publik mengaitkan peran Romi dalam sejumlah Pilrek PTKI ini. Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa ada jual beli jabatan rektor yang melibatkan Romi maupun menteri agama.

Gugatan terhadap PMA 68 bukan kali ini saja terjadi. Dosen UIN Jogjakarta dan dosen UIN Malang pernah meminta PMA ini dikaji, bahwa pemilihan rektor agar dikembalikan ke senat kampus, tetapi tidak berhasil. Publik menilai, inilah momentum untuk mendesak Kemenag dan jajarannya mengkaji ulang kebijakan ini.

Otoritas Senat

Sebelum PMA 68 Tahun 2015, pemilihan rektor PTKIN ditentukan oleh jumlah suara terbanyak anggota senat universitas, institut, atau sekolah tinggi (PMA Nomor 11 Tahun 2014 dan PMA Nomor 45 Tahun 2006). Kemudian rektor mengajukan nama-nama hasil pemilihan senat tersebut untuk ditetapkan dan dilantik oleh Menag.

Pemilihan rektor oleh senat di beberapa kampus menimbulkan konflik antar calon atau kubu pendukung, khususnya di kampus-kampus besar. Dosen terpolarisasi (di antaranya) ke dalam kelompok organisasi masa besar NU, Muhammadiyah, dan HMI.

Minimalisasi konflik dan polarisasi dosen inilah alasan lahirnya PMA 68 Tahun 2015. Contoh konflik era PMA 11 di kampus-kampus besar adalah UIN Alauddin Makassar, UIN Sultan Thaha Jambi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan IAIN Ambon.

Polariasi dosen ke dalam minimal tiga ormas besar itu merupakan keniscayaan (alamiah) dan harus dilihat sebagai hal biasa dan positif. Ketika rektornya dari ormas tertentu misalnya, dosen dari dua ormas lainnya pasti mendapatkan kursi Warek, dekan, wakil dekan, ketua prodi, dan seterusnya.

Bagi-bagi jabatan antar ketiga ormas ini di PTKIN merupakan hal biasa dalam rangka stabilitas politik kampus dan fatsun politik (bagaimana persentasenya di setiap PTKIN perlu penelitian khusus). Kecuali itu, hal ini terkait kelompok apa berkoalisasi dengan kelompok apa.

Otoritas Menteri

Apakah PMA 68 tidak menimbulkan masalah di kalangan dosen PTKIN? Sudah ada 27 pemilihan rektor PTKIN sejak PMA 68 ini disyahkan pada 2015. Kementerian mengklaim tidak ada masalah dalam pemilihan rektor tersebut. Faktanya, dosen UIN Malang, dosen UIN Jogjakarta, dosen UIN Riau, dosen UIN Mataram, dan dosen IAIN Meulaboh memprotes rektor hasil pemilihan menteri agama.

Para rektor pilihan Menag tidak selamanya bisa diterima oleh civitas akademik kampus dengan beragam alasannya. Misal, Menag dinilai tidak menunjukkan meritokrasi dalam kriteria pilihannya, tetapi nepotisme.

Sebelum memilih, Menag mendapatkan tiga (3) nama hasil penilaian Komisi Seleksi berjumlah tujuh (7) orang profesor dari kampus berbeda. Pertanyaannya, apakah komisi ini bekerja objektif sesuai indikator penilaian atau subjektif? Katakanlah objektif, apakah selama ini Menag otomatis akan atau selalu memilih yang nomor urut satu dari ketiga yang dimajukan komisi?

Inilah saya kira pintu masalahnya. Pemilihannya murni berdasarkan hasil penilaian yang objektif atau karena faktor lain seperti kolusi dan nepotisme.  Simpulannya, baik PMA 11/ 2014, PMA 45/ 2006, maupun PMA 68/ 2015 memiliki sejumlah kelemahan. Yang pertama dan kedua bisa menimbulkan konflik antar dosen sedangkan yang ketiga memunculkan konflik antar dosen dan menteri agama.

Solusi sengkarut pemilihan rektor PTKIN ini ada tiga. Pertama, kembalikan pemilihan rektor ke senat universitas. Jika ada konflik, Kemenag segera turun tangan seperti yang selama ini terjadi (menunjuk dosen di luar kampus sebagai rektor sementara untuk melaksanakan pemilihan ulang). Model ini merupakan pembelajaran demokrasi tertinggi di kampus bagi para dosen, khususnya para profesor.

Kedua, dalam pemilihan rektor, senat memiliki 65 persen suara sedangkan Menag 35 persen suara sebagaimana berlaku di Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Kemristekdikti (Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017). Bahkan formulanya bisa 80 persen senat dan 20 persen Menag.

Sementara itu ide Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo yang pernah mewacanakan pelibatan presiden dalam pemilihan rektor untuk menangkal dan mengurangi radikalisme di kampus-kampus sungguh tidak bisa diterima akal sehat. Rektor bukan faktor kunci adanya radikalisme di kampus.

Otoritas absolut Menag dalam pemilihan rektor PTKIN bertentangan dengan pembelajaran demokrasi yang menjadi salah satu nilai yang harus dikembangkan di setiap kampus, termasuk Kementerian Agama. Apakah benar saat ini merupakan momentum koreksi PMA 68 Tahun 2015? Kita tunggu dalam hitungan minggu atau bulan.

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. (mf)