“Tikungan Iblis” di Pestarama #10: Satir Politik dan Cermin Realitas Sosial Indonesia
Jakarta, BERITA FITK Online – Pementasan drama Tikungan Iblis yang diangkat dari karya Emha Ainun Nadjib menjadi salah satu sorotan utama dalam gelaran Pestarama #10, yang diselenggarakan oleh Mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara ini berlangsung meriah pada Rabu, 21 Mei 2025, bertempat di Bulungan Theater Building, dan berhasil menarik perhatian lebih dari penonton dari berbagai kalangan.
Dalam drama Tikungan Iblis digambarkan bahwa iblis sebenarnya bukanlah pihak yang sepenuhnya patut disalahkan oleh manusia. Ia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memang telah ditetapkan atau disetting untuk berada pada posisi dan peran tertentu dalam skenario kehidupan.
Peran iblis dalam hal ini lebih sebagai bagian dari sistem ujian bagi manusia, bukan sebagai sosok yang bertanggung jawab atas setiap kesalahan manusia secara mutlak. Manusia selalu menyalahkan iblis setiap melakukan kesalahan, maka hal itu menunjukkan kerendahan dari manusia itu sendiri. Karena sepatutnya manusia itulah yang harus berintrospeksi diri.
“Nama saya Iblis. Karena jumlah Iblis memang hanya satu, ya saya ini saja, tidak ada Iblis yang lain.”
Smarabhumi adalah tokoh sentral dalam naskah drama Tikungan Iblis karya Cak Nun. Smarabhumi yang diperankan oleh Muhammad Irgi, Fira Deyanti, Rini Andriani dan Safira Nur. Dalam pementasan ini, Smarabhumi bukan sekadar nama, melainkan perwujudan dari sosok Iblis itu sendiri.
“Ayo semua yang selamat ikuti jalanku, masuk ke golonganku, mendaftar di partai besarku: Partai Takut kepada Allah.”
Kutipan tersebut menggambarkan betapa manusia sangat rentan terhadap tipu daya setan, tetapi Iblis sendiri mengakui ketakutannya kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa meskipun Iblis memiliki kekuatan untuk menggoda manusia, ia tetap takut kepada kekuasaan dan kebesaran Allah.
Smarabhumi bukanlah sosok yang menakutkan seperti gambaran umum tentang Iblis. Ia tampil sebagai figur yang cerdas, berwibawa, dan memikat. Smarabhumi digambarkan sebagai penghulu para malaikat yang dulunya paling dekat dengan Tuhan, namun kemudian jatuh karena kesombongannya.
Pementasan ini juga secara terang-terangan menyindir dinamika politik Indonesia saat ini. Menggambarkan kuasa dan ambisi sering dibungkus oleh penampilan elok dan janji manis. Melalui dialog-dialog satir dan simbolik, pementasan ini menelanjangi kemunafikan dalam politik, yang kelihatan suci bisa menyimpan dosa, dan yang tampak bijak ternyata sedang memanipulasi.
Contoh yang disebutkan dalam pementasan yakni dari isu-isu ekonomi yang digambarkan dalam adegan-adegan tertentu, harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, janji pembangunan yang tak kunjung merata, dan proyek-proyek besar yang justru memperkaya segelintir elit. Kemiskinan digambarkan sebagai korban yang terseret arus, bingung oleh jargon-jargon politik, dan hanya bisa berharap pada janji yang terus diulang tapi tak ditepati.
Emha Ainun Nadjib atau disapa dengan panggilan Cak Nun yang merupakan penulis naskah Tikungan Iblis merupakan salah satu penulis paling produktif pada masanya, dengan karya-karya yang laris di pasaran karena mampu menyajikan isu-isu aktual dan kontekstual secara tajam, khususnya dalam ranah sosial-politik dan pemiskinan kebudayaan. Cak Nun sebagai budayawan yang mampu merepresentasikan sensibilitas generasi muda yang kritis, gemar melakukan protes, namun tetap religius.
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Pestarama #10, selain pementasan tiga drama utama Masyitoh, Tikungan Iblis, dan Iblis juga digelar sebuah pameran yang menampilkan karya sastra dari penulis, dokumentasi proses pelatihan mahasiswa selama mempersiapkan pementasan, dan kesan dan pesan untuk Pestarama #10. Pameran ini bertujuan menegaskan bahwa setiap pertunjukan teater lahir dari proses panjang yang bersifat intelektual dan kolaboratif, melibatkan pembacaan mendalam terhadap naskah, latihan yang konsisten, serta eksplorasi terhadap nilai-nilai budaya dan spiritual.
Mengusung tema “Relung Langkah Budayawan Muslim Indonesia #2”, Pestarama tahun ini kembali menunjukkan komitmennya sebagai wadah apresiasi karya sastra yang merefleksikan nilai-nilai keislaman dan kebudayaan dalam konteks kebangsaan. Pestarama tidak sekadar menjadi perayaan tahunan, melainkan tumbuh sebagai sumber inspirasi berkelanjutan bagi mahasiswa untuk terus berkontribusi dalam perkembangan dunia sastra dan teater Indonesia.