Bahaya Laten Korupsi
Bahaya Laten Korupsi

Masih belum reda heboh-heboh kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan ketua umum PPP Romahurmuziy (Rommy) tiga pekan lalu, kini KPK Kembali melakukan OTT terhadap politikus Golkar Bowo Sidik Pangarso dengan manajer PT. Humpuss Transportasi Kimia (HTK). Ada uang milyaran rupiah yang disita KPK di dalam puluhan kardus. Anggota DPR tersebut terlibat kasus suap terkait suap sewa kapal dan diakuinya untuk digunakan pencalegan.

Korupsi adalah kejahatan universal, artinya tindakan koruptif berpotensi terjadi di manapun dan bisa menimpa siapa saja seperti halnya terorisme dan penyalahgunaan narkoba. Korupsi tidak mengenal suku bangsa, bangsa barat atau timur, dan bahkan juga agama. Tidak juga mengenal partai politik berideologi dan bermazhab apa, ada yang dari partai merah, kuning, hijau, biru, juga putih semua oknumnya pernah melakukan korupsi. Orang berasal dari suku apapun berpeluang melakukan korupsi. Demikian pula, korupsi tidak saja menjadi perilaku orang barat atau orang timur. Buktinya, di negara-negara barat ada korupsi dan demikian pula di negara-negara timur. Selain itu, korupsi juga tidak mengenal agama, artinya pemeluk agama apapun, sepanjang orang itu ada di pemerintahan atau organisasi, maka berpeluang melakukan tindak kejahatan dimaksud.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diambil dari laman Kompas (8/9/2018) menyebutkan tren penindakan korupsi masih cukup tinggi di tahun 2018, meskipun angkanya lebih menurun dibanding periode 2016-2017. Pada semester I tahun 2018 angka kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi sebesar Rp 1,09 triliun dan nilai suap Rp 42,1 milyar. ICW menyebutkan, dari modusnya yang sering dilakukan antara lain mark up, tindakan suap, pungutan liar, penggelapan, laporan fiktif, dan yang paling besar merugikan negara adalah penyalahgunaan wewenang.

Sementara data yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan selama tahun 2018 telah menangani 178 kasus korupsi, sebanyak 152 di antaranya adalah kasus penyuapan yang melibatkan anggota DPR dan DPRD. Tentu ini menjadi pelajaran agar kita berhati-hati dalam menentukan pilihan calon anggota legislatif mendatang.

Dalam perbincangan tidak resmi dengan salah satu dosen di suatu tempat, dia merasa prihatin dan kebingungan perihal orang-orang yang terlibat korupsi. Utamanya kasus yang menjerat mantan ketua umum PPP Romahurmuziy (Rommy) yang juga masih kerabatnya. Semula dia yakin bahwa dengan mengerti agama, keturunan kiai besar, rumahnya mewah dan hartanya banyak maka seseorang akan mampu mengendalikan dirinya dan menjauh dari perbuatan tercela tersebut. Tapi kenyataannya dia terjerumus juga ke dalam lingkaran korupsi yang akan mengakhiri kariernya dan sudah tentu bikin malu istri, anak dan keluarga besarnya meskipun mereka tidak tahu apa-apa. Dia memiliki hipotesis bahwa karena tuntutan menghidupi partainya sehingga Rommy melakukan kegiatan yang merugikan tersebut.

Sebenarnya semua orang tahu bahwa korupsi adalah perbuatan menyimpang yang mendatangkan resiko berat, sekalipun sudah diketahui akibatnya, tetapi masih saja dijalankan, mulai dari yang berskala kecil hingga yang besar. Kesediaan menghindar dari perbuatan terlarang dan atau tercela bukan hanya oleh karena mengetahui resiko yang berat, tetapi rupanya ada faktor atau kekuatan lainnya. Faktor atau kekuatan dimaksud adalah berada di dalam hati setiap orang. Seseorang yang hatinya bersih, baik ada peraturan yang melarang atau tidak, ada ancaman atau tidak, atau ada resiko atau tidak, maka sesuatu yang dirasakan tidak boleh dilakukan, akan ditinggalkan begitu saja. Perilaku seseorang digerakkan oleh hati yang bersangkutan.

Oleh karena itu, manakala dalil-dalil kitab suci, peraturan, tata tertib, dan semacamnya telah diterima oleh hati seseorang, maka yang bersangkutan akan mematuhinya. Mungkin saja selama ini peraturan, peringatan, ajaran agama yang termaktub di dalam ayat-ayat kitab suci tersebut hanya sebatas diterima oleh otaknya. Pikiran biasanya digunakan untuk menghitung tentang untung atau rugi, efektif dan efisien, ketahuan orang atau tidak, dan seterusnya, sehingga ketika hitungan itu masih memungkinkan selamat, larangan dimaksud tetap dilaksanakan. Hal itu berbeda ketika yang mempertimbangkan adalah suara hati. Hati yang sehat selalu mengajak kepada kebaikan, kemuliaan, dan keluhuran. Oleh karena itu, gerakan memberantas korupsi akan lebih efektif jika yang disentuh adalah hatinya dan bukan sekedar otaknya. Sekalipun peringatan telah menggunakan ayat-ayat kitab suci, tetapi ketika yang disentuh hanya pikiran atau otaknya dan bukan hatinya, maka larangan korupsi itu masih saja diingkari.

Akhirnya kita sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya ini hanya bisa memohon kepada Tuhan YME agar dijaga dan dihindarkan dari segala perbuatan tercela utamanya perilaku koruptif yang sudah semakin merajalela dan masuk ke setiap lini kehidupan kita.

Muslikh Amrullah, MPd, Staf Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (mf)