FITK UIN Jakarta Gelar Refleksi Hari Santri 2025, Rekonstruksi Narasi Pesantren Melalui Diskusi dan Bedah Buku

FITK UIN Jakarta Gelar Refleksi Hari Santri 2025, Rekonstruksi Narasi Pesantren Melalui Diskusi dan Bedah Buku
Gedung FITK, BERITA FITK Online— Suasana intelektual dan semangat kebangsaan menyelimuti Ruang Teater Mahmud Yunus Lt.3, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu pagi (22/10/2025). Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025, FITK menyelenggarakan acara bertajuk “Diskusi Hari Santri dan Bedah Buku Karya Dr. Suwendi, M.Ag.” Kegiatan ini mengangkat tema sentral “Rekonstruksi Narasi Pesantren: Analisis Kritikal Media Massa dan Implikasinya terhadap Identitas Santri.”
Acara yang dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri dari civitas akademika UIN Jakarta, para guru besar, dosen, mahasiswa dari berbagai fakultas, serta masyarakat umum ini, bertujuan mengkritisi konstruksi citra pesantren di media dan memperkuat identitas santri di era digital.

Pembukaan dan Sambutan Penuh Makna
Acara dibuka secara resmi setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, lagu Indonesia Raya, dan Mars FITK. Dalam sambutannya, Prof. Siti Nurul Azkiyah, M.Sc., Ph.D., Dekan FITK, menyampaikan apresiasi yang mendalam atas terselenggaranya acara ini. Ia menekankan bahwa pesantren telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak hanya dalam bidang pendidikan tetapi juga dalam berbagai peran kebangsaan lainnya.
“Acara ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah momentum untuk menimba ilmu dan mengingatkan kita semua tentang kontribusi luar biasa santri dan pesantren. Saya berharap mahasiswa dapat meneladani para pejuang dan senior yang hadir di sini,” ujarnya.

Sambutan sekaligus pembukaan acara secara resmi disampaikan oleh Din Wahid, M.A., Ph.D. mewakili Rektor UIN Jakarta. Dalam pidatonya, ia merefleksikan fenomena viralnya tayangan media nasional baru-baru ini yang dinilai memberikan perspektif negatif terhadap pesantren.
“Kita dikagetkan oleh tayangan yang menimbulkan respon negatif yang besar. Padahal, pesantren memiliki peran strategis: reproduksi ulama, pemelihara tradisi, transmisi pengetahuan Islam, dan pengembangan masyarakat. Pesantren sangat kontributif dan responsif terhadap tuntutan zaman, seperti isu lingkungan dan sustainable development,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi inisiatif Dr. Suwendi yang merayakan Hari Santri tidak hanya dengan upacara, tetapi dengan karya intelektual berupa bedah buku.

Bedah Buku dan Gagasan Penulis
Fokus acara kemudian beralih pada bedah buku karya Dr. Suwendi, M.Ag., yang juga merupakan Ketua Program Studi S1 Pendidikan Agama Islam (PAI) FITK. Dalam pemaparannya, Dr. Suwendi mengungkapkan latar belakang penulisan bukunya yang terinspirasi dari perjalanan panjangnya di Kementerian Agama dan kecintaannya pada dunia pesantren.
Ia menjelaskan bahwa buku ini adalah bentuk upaya “counter-narative” atau perlawanan terhadap narasi media yang seringkali membingkai pesantren secara tidak objektif.
“Media massa memiliki kapabilitas untuk mendesain citra pesantren. Narasi yang dibentuk bukanlah hal yang sangat objektif, melainkan hasil proses sosial yang sarat kepentingan dan ideologi. Buku ini lahir untuk memastikan bahwa santri adalah subjek sejarah yang memiliki peran strategis dalam membangun bangsa,” papar Suwendi dengan penuh semangat.
Secara touching, ia juga berbagi kisah pribadi dimana tiga buku pertamanya dijadikan sebagai mahar dalam pernikahannya, menunjukkan betapa komitmennya pada dunia literasi telah mendarah daging.
Catatan Kritis dari Para Pakar
Tiga narasumber utama kemudian memberikan catatan kritis dan mendalam terhadap buku tersebut, masing-masing dari sudut pandang keahlian mereka.

- Prof. Dr. H. Husni Rahim: Pesantren dalam Lintasan Sejarah dan Tantangan Ke depan
Guru Besar Politik Pendidikan UIN Jakarta ini memberikan analisis historis dan pedagogis. Ia menekankan agar santri tidak bersikap defensif menghadapi kritik, melainkan progresif dengan memproduksi narasi tandingan yang positif.
“Jangan terlibat dalam debat defensif. Kembangkan dan berikan counter naratif. Tuliskan kelebihan-kelebihan santri seperti kemandirian, etos keilmuan tinggi, dan jaringan sosial yang luas secara humanis dan humoris,” sarannya.
Prof. Husni Rahim juga memaparkan keunggulan sistem pendidikan pesantren yang telah menerapkan konsep-konsep modern seperti learning until mastery (belajar tuntas) dalam pengajian Al-Qur’an dan sistem mentoring yang efektif melalui senioritas. Ia mengkritik pendidikan guru zaman sekarang yang dianggapnya terlalu menekankan metodologi dan kurang memperdalam materi serta praktek mengajar.
“Pesantren harus terus bertransformasi, menjaga kekhasan dan kreativitasnya, tanpa harus diseragamkan. Kualitas jangan hanya diukur dari nilai akademik (NEM), tetapi dari transformasi karakter dan spiritual yang dihasilkan,” tukasnya.

- H. Mauludin Anwar: Membaca Media Massa dan Strategi Digital Pesantren
Dengan latar belakang unik sebagai santri Gontor dan wartawan senior selama 30 tahun di Metro TV dan SCTV, Mauludin memberikan analisis tajam dari sisi media. Ia menyatakan bahwa banyak pemberitaan negatif tentang pesantren lebih disebabkan oleh ignorance (ketidaktahuan) daripada niat jahat.
“Sebagian besar kasus bias dan framing itu lahir akibat ketidaktahuan wartawan. Mereka bukan jurnalis Trans7, melainkan production house luar yang dibayar untuk membuat tayangan. Mereka tidak paham nilai-nilai pesantren,” jelasnya.
Mauludin mendorong pesantren untuk tidak sekadar membela diri, tetapi merebut kembali ruang publik dengan menjadi produsen konten.
“Rebut kembali ruang taksir publik! Pesantren bukan lagi objek, tapi harus menjadi subjek. Santri sekarang bukan hanya ahli kitab kuning, tetapi juga harus melek digital. Galakkan literasi digital dan pelatihan jurnalisme untuk santri,” serunya.
Ia menunjuk data bahwa pengguna internet Indonesia telah mencapai 212 juta orang, dan menghabiskan rata-rata 7 jam per hari di internet. “The king is content. Di era digital, siapa yang punya konten kreatif, dialah yang berkuasa. Generasi santri digital harus bisa menulis dengan kamera dan berdakwah lewat algoritma,” tegas Mauludin.

- Dr. (Hc) H. Lukman Hakim Saifuddin: Kontekstualisasi Nilai dan Moderasi Beragama
Mantan Menteri Agama RI ini memberikan perspektif makro tentang relasi agama-negara dan tantangan pendidikan Islam. Ia menjelaskan bahwa Indonesia bukan negara agama maupun sekuler, tetapi berada di tengah-tengah. Posisi ini mengharuskan negara tidak terlalu jauh campur tangan, tetapi juga tidak boleh lepas tangan dalam urusan keagamaan.
Lukman Hakim menekankan pentingnya membedakan ajaran Islam yang universal (ushuli) seperti keadilan dan anti-diskriminasi, dengan ajaran yang partikular (furu’i) yang boleh berbeda pemahaman.
“Moderasi beragama terletak pada kemampuan untuk toleran dalam hal-hal furu’i yang beragam, sambil berpegang teguh pada nilai-nilai universal. Inilah yang harus dijaga dalam pendidikan Islam, termasuk di pesantren,” ujarnya.
Beliau memberikan catatan penting pada buku Dr. Suwendi, yaitu perlunya elaborasi yang lebih dalam tentang “ruhul ma’had” (jiwa pesantren). Menurutnya, selain lima jiwa yang sering dikutip (ikhlas, sederhana, mandiri, persaudaraan, kebebasan), ada dua jiwa penting yang tertuang dalam UU Pesantren namun sering terlupa: Cinta Tanah Air (Keindonesiaan) dan Keseimbangan (Moderasi/Tawassuth).
“Kalau ada lembaga menyatakan diri pesantren tapi anti negara, anti kebangsaan, itu bukan pesantren. Dan pesantren itu selalu berada pada posisi moderat, tawassuth, tidak condong ke ekstrem,” tegasnya.
Terakhir, ia mengajak para santri untuk bereaksi bijak terhadap narasi negatif.
“Marwah kita tergantung pada perilaku kita. Orang boleh menghina, tapi kalau kita menjaga kehormatan dengan sikap dan perbuatan, hinaan itu tidak akan berarti. Jangan berlebihan dalam bereaksi. Santri harus lebih mengedepankan memberi daripada menuntut,” pesannya penuh hikmat.
Penutup dan Semangat Ke depan
Acara yang dimoderatori dengan apik oleh Dr. Yayah Nurmaliyah, M.A., ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang interaktif dan penuh semangat. Diskusi ini tidak hanya berhasil membedah buku secara kritis, tetapi juga memberikan arah dan strategi konkret bagi pesantren dan santri untuk menghadapi tantangan di era digital.
Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa semangat Hari Santri tidak hanya dirayakan dengan simbolisme, tetapi diperingati dengan karya, refleksi mendalam, dan komitmen untuk terus membangun narasi positif serta kontribusi substantif pesantren dan santri bagi kemajuan Indonesia. (AM)