Gaduh Pasca Pilpres
Gaduh Pasca Pilpres

Bangsa Indonesia telah sukses melangsungkan pesta demokrasi lima tahunan dengan memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota, Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pemilihan yang dilaksanakan pada 17 April 2019 umumnya berlangsung dengan suasana aman, tertib, dan damai, bahkan para pemantau dari luar negeri menyampaikan kekagumannya kepada bangsa Indonesia yang semakin dewasa dalam menghadapi pemilihan umum.

Tetapi suasana aman dan damai saat pemilihan berlangsung tidak dilanjutkan setelah proses pemilihan dan penghitungan usai dilakukan. Kekhawatiran oleh sebagian orang dari jauh-jauh hari terjadi juga, bahwa 17 April hanya menyelesaikan proses pemilu, tetapi tidak bisa menyudahi perselisihan. Kondisi ini hampir sama dengan saat Pilpres tahun 2014 lalu yang harus selesai di Mahkamah Konstitusi (MK), dan itu membutuhkan waktu berbulan-bulan sejak Pilpres usai dilaksanakan. Selama menunggu proses di MK, selama itu juga pendukung dari kedua Paslon Presiden dan Wakil Presiden bertikai. Mestinya, sebagai generasi muda yang cerdas dapat belajar dari kejadian Pilpres lampau. Apakah yang kita perjuangkan dengan niat baik dan tulus itu juga menjadi spirit elite politik yang kita dukung? apakah kita hanya diperalat dan dimanfaatkan oleh segelintir pelacur politik demi libido kekuasaannya? Itu sebenarnya yang harus dipahami dan direnungkan.

Prinsip dasar yang harus tertanam dalam diri untuk menyikapi hasil Pilpres kali adalah siapapun yang akan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, "Indonesia akan baik-baik saja, Indonesia tetap menjadi rumah bersama untuk seluruh warga negara". Tidak benar jika Jokowi akan jadi Presiden, PKI akan hidup lagi. Sama halnya juga tidak benar jika Prabowo jadi Presiden maka khilafah akan berdiri di Indonesia. Kita tahu dari kedua Paslon Presiden dan Wakil Presiden terdapat banyak ulama yang cinta NKRI dan sudah komitmen UUD 1945 adalah dasar negara. Itu hanya strategi-narasi yang dibangun dan digunakan oleh kedua tim sukses untuk mempengaruhi pemilih, dan itu hal yang wajar di alam demokrasi.

Penyelenggara dan elite politik harus segera turun tangan dan bertanggungjawab untuk dapat meredam suasana tidak kondusif ini, bukan malah memperkeruh keadaan dengan terus mempengaruhi simpatisan dan para pemilihnya untuk membangun opini bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang didukungnya menang, padahal pengumuman resmi dari KPU saja belum. Kasihan melihat rakyat/ ummat tidak henti-hentinya diajak untuk terus bertikai sesama anak bangsa dengan narasi saling serang dan menjatuhkan, di samping persoalan ummat sebagai pribadi pun sudah cukup banyak.

Kontestasi politik dilakukan setiap lima tahun sekali, jangan sampai energi dihabiskan hanya di Pemilu kali ini saja. Bagus jika energi kita habiskan untuk hal yang positif, amat rugi jika dihabiskan untuk saling serang dan mencaci. Parahnya lagi sebagian dari kita melakukan tindakan itu sekedar disuruh atau ikut-ikutan tanpa mengerti persoalan sebenarnya. Ingat, pada tahun 2024, 2029 bangsa Indonesia juga akan melangsungkan Pemilu seperti saat ini, tentu itu memerlukan energi dan peran kita sebagai generasi muda bangsa. Jika pada pemilu kali ini kita merasa kecewa dan marah dengan alasan yang kurang begitu jelas, apa kita masih mau berpartisipasi aktif untuk Pemilu berikutnya? Lalu, kepada siapa kemajuan bangsa Indonesia ini kita percayakan?

Bahwa sudah menjadi hukum alam di dalam setiap kompetisi akan terdapat pemenang dan yang kalah, itu wajar adanya. KPU sebagai lembaga penyelenggara sampai saat ini belum mengumumkan secara resmi hasil dari Pemilu anggota dewan dan Pilpres kali ini. Kita diminta bersabar untuk menunggu hasil resmi yang akan disampaikan KPU.

Persoalannya adalah dari kedua pihak pasangan calon sudah sama-sama mendeklarasikan diri sebagai pemenang Pilpres kali ini. Yang satu merasa menang dengan hasil quick count (QC) oleh sejumlah lembaga survei, kemudian satunya lagi yakin menang oleh perhitungan internalnya dan merasa penghitungan QC yang dilakukan sejumlah lembaga survei adalah penggiringan opini yang menyesatkan. Kemudian dari kondisi itu kedua kubu dan para simpatisannya sama-sama mempercayai apa yang disampaikan oleh para elite politiknya.

Idealnya, kedua kubu menunggu dengan sabar hasil penghitungan secara manual yang akan dilakukan KPU beberapa minggu ke depan dengan tetap dikawal oleh tim dari masing-masing Paslon.

Selain persoalan di atas, ada sebagian kita yang dari awal tidak mempercayai penuh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu. Menurutnya, mereka punya dasar untuk tidak mempercayai KPU dan Bawaslu itu. Jika ketidakpercayaan masih diarahkan ke KPU dan Bawaslu sampai penghitungan manual usai, dipastikan persoalan kekisruhan ini akan terus berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Betul bahwa proses itu diperbolehkan oleh undang-undang, tapi sekali lagi proses itu akan menguras energi anak bangsa dan sudah pasti akan mengganggu stabilitas nasional.

Muslikh Amrullah, MPd, Staf Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (mf)