Guru Besar FITK UIN Jakarta, Armai Arief: Pentingnya Perlindungan Hukum bagi Guru Honorer di Tengah Ancaman Kriminalisasi
BERITA FITK Online- Guru honorer di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, baik dalam hal kesejahteraan maupun perlindungan hukum. Ketidakpastian mengenai status dan hak-hak mereka sering kali membuat mereka rentan terhadap kriminalisasi dan tekanan sosial.
Kasus Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang telah mengabdikan diri selama 16 tahun menjadi contoh nyata dari masalah ini. Supriyani sempat ditahan atas tuduhan penganiayaan terhadap seorang siswa, yang dilaporkan oleh Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo, kepala Unit Intelijen Polsek Baito, yang juga merupakan orang tua siswa tersebut.
Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Armai Arief, menyampaikan keprihatinannya terhadap kasus tersebut. Menurutnya, seorang guru seharusnya mendapat perlindungan serta kepastian kesejahteraan dari negara. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak guru honorer justru menghadapi kasus hukum akibat laporan dari wali murid terkait tindak kekerasan terhadap anak.
“Tindakan seorang guru dalam mendidik sering kali mencakup teguran sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang untuk membentuk perilaku dan akhlak yang baik pada siswa. Namun, tindakan ini terkadang ditafsirkan secara berbeda oleh sebagian orang tua,” ujar Ketua Dewan Pembina Asosiasi Dosen Indonesia itu.
Armai menambahkan bahwa teguran oleh guru biasanya bertujuan membangun disiplin dan kepribadian siswa. Namun, jika teguran tersebut berubah menjadi kekerasan fisik, hal ini tentu tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan tujuan pendidikan.
Lebih lanjut, Armai menekankan bahwa nasib guru honorer masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Ia menilai perlu adanya perlindungan hukum untuk menghindari kriminalisasi terhadap guru yang tengah menjalankan tugasnya.
Menurutnya, guru honorer yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan generasi bangsa seharusnya tidak dibiarkan menghadapi nasib yang pahit.
Armai juga mendorong pemerintah untuk membentuk lembaga otonom di bawah Kementerian Pendidikan yang bertugas memantau kondisi mental anak didik dan kesehatan mental guru, serta mendukung bimbingan konseling di sekolah. Lembaga ini diharapkan mampu memperkuat program pendidikan dan daya tahan psikologis tenaga pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Dalam konteks perlindungan anak didik, Armai merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 54 menyebutkan bahwa anak-anak wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya di lingkungan pendidikan.
Armai menyampaikan bahwa semua pihak, termasuk guru, kepala sekolah, aparat pemerintah, dan masyarakat, memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Ia juga mengimbau kepada para orang tua agar tidak mudah melaporkan guru tanpa mempertimbangkan musyawarah terlebih dahulu. (MusAm)
Sumber: Suara Indonesia Newscom