Ihwal Homebase Dosen
Tim ahli DPD RI selesai merumuskan rancangan perubahan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada akhir 2018. Beberapa pasal dalam UU ini mengalami perubahan karena dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan realitas pendidikan Indonesia. Diantara perubahan yang diusulkan Tim Ahli dan Anggota DPD RI adalah tentang homebase. Dosen tidak hanya milik satu Prodi, tetapi bisa untuk dua atau tiga Prodi yang sama, bahkan bisa beda fakultas dan kampus.
Homebase
Selama ini standar homebase menuntut setiap Prodi minimal harus memiliki enam dosen yang memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai. Seorang dosen yang sudah terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) pada Prodi tertentu, tidak bisa didaftarkan lagi di Prodi lainnya (tertolak sistem).
Kemenristekdikti pada akhir 2018, menyatakan sedang menyiapkan perubahan regulasi Homebase ini. Tidak lagi melihat homebase dosen berdasarkan Prodi, tetapi melihat keseluruhan rasio dosen dan mahasiswa. Rasio dimaksud dilihat dari waktu yang didedikasikan oleh dosen untuk Prodi atau disebut Full Time Equivallence (FTE).
Kecukupan dosen diukur dengan rasio jumlah FTE dosen dibanding dengan jumlah FTE mahasiswa pada tingkat universitas, fakultas, dan Prodi. FTE berarti bahwa ukuran jumlah dosen/mahasiswa didasarkan pada ekuivalen penuh waktu, yaitu selama 37,5 jam/minggu atau 16 SKS per semester.
Misalnya dalam fakultas/universitas, jumlah dosen ada 100 orang tetapi yang 50 orang bekerja paruh waktu sebanyak 18,75 jam per minggu maka jumlah dosen FTE 75 orang. Jika jumlah mahasiswa FTE 300 orang, maka rasionya 1/4.
Perubahan ini merupakan kemunduran karena basis homebase seharusnya tetap berada di Prodi. Setiap Prodi harus memiliki jumlah minimal dosen yang sesuai latar belakang pendidikannya. Hanya saja, seorang dosen seharusnya bisa berada di dua atau tiga Prodi, baik dalam satu kampus atau beda kampus.
Alasannya, pertama, dosen memiliki banyak waktu luang. Dengan beban kerja 12 sampai 16 sks, setiap semester, dosen mengajar setara dengan dua hari kerja. Tiga hari sisanya, ia bisa mengajar di Prodi sejenis di kampus lainnya, atau Prodi lainnya di kampus yang sama jika mata kuliah Bahasa Inggris, Bahasa Arab, atau mata kuliah Keagamaan.
Hal ini memungkinkan meskipun selain mengajar tugas dosen adalah meneliti dan pengabdian masyarakat. Faktanya, banyak dosen mengajar lebih dari satu kampus, tetapi tidak bisa diakui sebagai dosen homebase.
Akreditasi
Alasan kedua adalah akreditasi menggunakan syarat minimum enam dosen homebase. Masalahnya, mana mungkin kinerja seorang dosen di satu fakultas hanya bisa diakui di salah satu Prodi, S1, S2, atau S3-nya saja. Padahal misalnya, yang bersangkutan mengajar di ketiga Prodi yang sama, namun beda jenjang tersebut. Dengan kata lain, seorang dosen hanya boleh terdaftar di salah satu jenjang Prodi.
Alasan ketiga, kampus kekurangan profesor. Produksi profesor di kampus berjalan lamban karena kebijakan publikasi artikel di jurnal terindeks scopus. Sama halnya kampus juga kekurangan dosen doktor karena kebijakan publikasi scopus sebelum ujian terbuka di kampus-kampus terkemuka.
Akibatnya, internal kampus berebut dosen, terutama yang bergelar profesor dan doktor. Prodi S1, S2, dan S3 di kampus yang sama berebut profesor dan doktor agar profil Prodinya bagus saat penilaian borang Prodi. Bisa jadi SK homebase Prodi berubah-ubah, sesuai kepentingan akreditasi Prodi.
Selama ini kampus negeri dan swasta menggunakan dosen “terbang” yang dianggap pakar atau profesor dalam bidang tertentu. Mereka mengajar S2 dan S3 sesuai keahliannya. Hal ini karena langkanya pakar-pakar tertentu di Indonesia. Seharusnya, mereka bisa diakui sebagai dosen homebase di Prodi S2 atau S3 meskipun berbeda kampus.
Tawaran kebijakan homebase dosen ini sebagai upaya mengatasi kekurangan dosen di perguruan tinggi negeri dan apalagi swasta. Di sisi lain, kebijakan lama mendorong kampus merekrut dosen-dosen baru sesuai standar minimal. Bagi kampus dengan mahasiswa yang banyak mungkin tidak masalah menggaji mereka. Sebaliknya, kampus minim mahasiswa akan kesulitan mencari sumber keuangan.
Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. (mf)