LOGIKA PELARANGAN CADAR
Muhbib Abdul Wahab | Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah | Peminat Kajian Tokoh Bahasa Arab |
Kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melalui Surat Edaran resminya Nomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 tentang pembinaan mahasiswi yang bercadar. Dalam press release-nya, substansi Surat Edaran itu berisi pelarangan pemakaian cadar dan ancaman pemecatan terhadap mahasiswi yang tetap memakai cadar di kampus menuai protes keras dari berbagai kalangan. MUI Pusat misalnya, melalui Sekretaris Jenderalnya, Anwar Abbas tegas menyoal kebijakan aneh, tidak rasional, dan hanya membuat kegaduhan itu, karena tidak berdasar argumen yang kuat dan logis.
Menurut Rektor UIN Yogyakarta, Yudian Wahyudi, Surat Edaran itu dibuat untuk menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama ingin menyebarkan Islam moderat, yaitu Islam yang mengakui dan mendukung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Selain itu, pelarangan cadar juga dimaksudkan untuk antisipasi dan pencegahan masuknya Islam radikal dalam kampus. Alasan lainnya yang menjadi dasar pelarangannya adalah alasan akademik dan pedagogis, bahwa mahasiswi bercadar sulit dikenali dan berpotensi sebagai joki saat pelaksanaan ujian.
Jika dicermati dan dikritisi, kebijakan Rektor tersebut sungguh sarat dengan kekeliruan berlogika (fallacy). Bahkan logika Rektor dalam pelarangan cadar (niqab) tidak hanya berpotensi “sesat dan menyesatkan” dunia akademik, tetapi juga “mengerdilkan” Islam yang luas dan luwes, yaitu Islam rahmatan lil ‘alamin. Akhirnya, mungkin menuai protes keras dari berbagai pihak, akhirnya pada 10 Maret 2018, kebijakan tersebut dianulir atau dicabut (Republika, 10 Maret 2018), meskipun sebelumnya mendapat dukungan dari Ketua PBNU dan Banser. Rupanya dukungan kultural tidak cukup kuat untuk menghentikan laju protes dan penolakan dari banyak pihak.
Perbedaan Tafsir
Kebijakan Rektor tentang pelarangan cadar, menurut logika hukum, bertentangan dengan aturan syariah, konstitusi negara, maupun hukum demokrasi. Penalaran dan argumen yang dibangun untuk membenarkan kebijakan tersebut tampaknya missing link dengan larangan bercadar. Secara personal, saya terus-terang tidak setuju dengan memakai cadar sebagai anjuran ataupun kewajiban dalam menutup aurat bagi perempuan, tetapi secara logika berbusana, memakai cadar jauh lebih baik, bermaslahat, dan tidak berdosa daripada tidak menutup aurat, memakai pakaian ketat, tipis, dan/atau membentuk lekuk-lekuk tubuh perempuan.
Kendatipun mengatas-namakan Islam moderat, kebijakan pelarangan tersebut justeru memperlihatkan logika tidak moderat, tidak toleran, dan tidak siap menerima perbedaan dalam penafsiran teks agama terkait “menutup aurat” bagi perempuan. Pelarangan itu seolah menunjukkan bahwa memakai cadar itu identik dengan radikal dan mengganggu proses pembelajaran di kelas. Jika memakai cadar dimaknai sebagai sikap dan perilaku radikal, maka argumentasi dan logika semacam ini jelas naif, absurd, dan intoleran. Dengan kata lain, pelarangan cadar itu bertentangan dengan logika demokrasi.
Jika bercadar adalah pilihan pemahaman dan tafsir terhadap teks keagamaan tentang menutup aurat bagi perempuan, bukan soal labelisasi radikal, fundamentalis, cikal bakal teroris, dan sebagainya, maka bercadar itu adalah hak kebebasan berekspresi dan pilihan sah dalam mengamalkan ajaran agama. Melarang bercadar, bahkan mengancam akan memecat pelakunya, berarti melanggar hak-hak asasi manusia. Tafsir sepihak Rektor UIN yang dipaksakan adalah cermin antidemokrasi, antikebebasan, dan intoleransi, lebih-lebih kebijakan yang sudah dianulir lebih didasarkan pada asumsi, bukan substansi. Cadar diasumsikan berpaham Islam radikal. Padahal, substansinya pada cadarnya, tetapi pada pemikiran dan sikap keagamaan yang ada di kepala masing-masing orang, entah bercadar atau tidak bercadar. Beberapa kasus penembakan di Amerika Serikat yang merenggut puluhan jiwa belum ada yang dilakukan oleh mahasiswi bercadar.
Selain itu, apabila pelarangan itu dipandang sebagai tindakan preventif dan ansitipatif terhadap merebaknya paham radikal dan ekseklusivisme, maka hal ini bertentangan dengan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 ayat 1 dan 2, bahwa “Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Terlepas apakah cadar itu budaya atau ajaran agama, menutup aurat dengan memakai cadar itu bagian dari kemerdekaan beribadat menurut paham agamanya. Jadi, pelarangan cadar itu berlawanan dengan logika konstitusi negara.
Oleh karena dalam Islam sendiri, tidak ada larangan memakai cadar, berarti pelarangan cadar itu sudah off side, melampaui otoritas Tuhan. Di negara sekuler dan ateis di Barat saja, misalnya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, orang bebas memakai cadar dan jilbab, mengapa di kampus UIN yang mengusung slogan Islam moderat, justeru melarang bercadar? Apakah “pemandangan kampus dan kelas” menjadi rusak, dan pembelajaran di kelas menjadi tidak efektif, jika sebagian mahasiswinya bercadar? Logika pedagogis dan psikologis justeru mengapresiasi perbedaan individual, termasuk perbedaan pendapat dan berbusana. Dengan kata lain, pelarangan cadar bertentangan dengan logika pedagogis dan psikologis.
Kampus Peradaban
Jika pelarangan bercadar di kampus dipandang sebagai otonomi kampus, maka kebijakan itu harus dipastikan tidak mengundang resistensi dan sikap intoleransi. Karena itu, kampus Islami seperti UIN Yogyakarta idealnya justeru menjadi ramah perbedaan dan kampus harmoni. Yang terpenting dalam pembinaan kemahasiswaan adalah pengembangan tradisi akademik dan intelektual yang bervisi pemajuan peradaban Islam. Bagaimana sebuah kampus Islam bisa menjadi pusat kemajuan peradaban jika sivitas akademikanya tidak memiliki sikap inklusivisme, toleransi, dan mengapresiasi perbedaan, termasuk dalam berbusana. Idealnya kehidupan kampus tidak terkontaminasi paham tertentu yang dengan gampang misalnya memberi label “Wahabi” kepada ormas-ormas tertentu (seperti: Muhammadiyah, Persis, FPI, HTI, dan sebagainya) yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan pimpinannya, sehingga logikanya loncat bahwa cadar itu identik dengan radikal.
Untuk menjadi kampus peradaban, kita perlu belajar dari sejarah, terutama ketika perguruan tinggi di Baghdad pada masa kejayaan Abbasiyah menjadi pusat peradaban dunia. Spirit yang dibangun dan dikembangkan saat itu adalah spirit inklusivisme dan intelektualisme yang menghargai perbedaan dan kebhinekaan. Selain haus ilmu, para penguasa saat itu memandang penting sinergitas ilmuwan lintas agama, budaya, bahasa, suku bangsa, warna kulit, dan strata sosial, sehingga intelektual Muslim dan Nashrani bisa saling bekerjasama dan berpartisipasi dalam memajukan peradaban Islam, antara lain, melalui Baitul Hikmah (Wisma Kebijaksanaan), lembaga akademik semacam LIPI di Indonesia.
Oleh karena itu, logika pelarangan cadar di UIN Yogyakarta jelas tidak sejalan dengan spirit intelektualisme, inklusivisme, kosmopolitanisme, logika demokrasi dan logika penegakan hak-hak asasi manusia, tanpa diskriminasi, lebih-lebih terhadap perempuan yang berkomitmen menutup auratnya. Cadar itu asesori, bukan substansi dan simbol radikalisme. Labelisasi radikal terhadap pemakai cadar itu merupakan virus negatif akibat minda subjektif yang pembuat kebijakan itu merasa paling Pancasilais, paling toleran, paling toleran dan moderat, padahalnya sebaliknya. Kalau saja kebijakan itu tidak dianulir, maka citra UIN sebagai kampus Islam moderat akan tercoreng dan dicap sebagai kampus sekuler dan liberal.
Dengan demikian, logika pelarangan cadar itu sangat tidak akademik, diskriminatif, melanggar HAM, nilai demokrasi, dan ajaran agama yang mengharuskan perempuan menutup aurat. Oleh sebab itu, kampus peradaban modern sebaiknya kembali kepada khittah-nya sebagai pusat pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pelayanan kepada masyarakat yang menjunjung tinggi spirit intelektualisme, moderatisme (wasathiyyah), inklusifisme (infitahiyyah), dan kosmopolitanisme. Yang dilawan adalah sikap dan perilaku radikal dan intoleransi siapapun, bukan pelarangan pemakaian cadar yang dipakai perempuan. Kampus peradaban dan berkeadaban adalah kampus yang menghargai perbedaan, bukan kampus yang anti kebebasan berekspresi dan berkreasi, termasuk dalam berbusana.
Lessons Learned
Pelarangan cadar di kampus Islam yang kemudian dianulir itu mengandung banyak pelajaran terpeting. Pertama, perbedaan tafsir dan kebebasan berekspresi dalam berbusana, selama sesuai dengan syariah Islam dan asas kepatutan dan kesopanan harus mendapat ruang terbuka dan tidak perlu dibatasi atau bahkan dilarang dengan kebijakan yang justeru mengerdilkan nama besar kampus Islam. Sekiranya cadar dilihat sebagai budaya, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan bedug sebagai hasil kreasi anak bangsa dalam memanggil umat agar melaksanakan shalat di masjid. Menutup aurat dengan bercadar tidak harus dimaknai sebagai cermin radikal pemakainya. Sebaliknya, mereka yang membuka aurat atau berjilbab tetapi mempertontonkan auratnya dengan pakaian ketat, tipis, dan tidak layak itulah yang harus menjadi lahan pembinaan pimpinan UIN.
Kedua, kebijakan kampus itu harus diambil dengan memperhatikan logika syariah, logika konstitusi, logika demokrasi, dan logika Hak-hak Asasi manusia. Jika bertentangan dengan semuanya, maka dapat dipastikan bahwa kebijakan itu hanyalanya akan membuat gaduh dan menguras energi umat. Kasus pelarangan cadar yang kemudian dianulis ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin PTKIN di seluruh Indonesia.
Ketiga, kebijakan akademik dan kemahasiswa di kampus Islam idealnya berkaitan masalah-masalah substansial, bukan masalah ecek-ecek atau masalah asesori, seperti larangan bercadar. Masih banyak problem kampus yang selama ini, misalnya saja, menjadi hambatan serius bagi para dosen yang hendak meraih gelar Guru Besar karena diwajibkan publikasi pada jurnal yang terindeks scopus. Scopus, menurut sebagian orang, dipandang sebagai “tuhan baru” yang menghantui calon Guru Besar. Selain itu, tidak sedikit pula para Guru Besar yang “mandul” dalam berkarya setelah menikmati aneka tunjangan kesejahteraannya itu.
Keempat, kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup sivitas akademika hendaknya diambil setelah melalui uji publik. Oleh karena itu, kebijakan publik hendaknya tidak seperti test the water, dalam arti kalau tidak ada reaksi dan protes, kebijakan itu jalan terus. Akan tetapi, jika mendapat reaksi penolakan dan protes dari banyak kalangan, lalu kebijakan itu dianulis. Hal itu hanya membuang-buang waktu dan energi saja. Semoga kasus pelarangan cadar di UIN Yogyakarta ini tidak terulang atau diulangi lagi di kampus lain. Wallahu a’lam bi ash-shawab!