Pendidikan Perempuan Indonesia
Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Sosok perempuan yang menginginkan perempuan maju melalui pendidikan dan kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Di bulan dan tahun Pemilu 2019 ini bisa dikatakan bahwa masa depan bangsa Indonesia tidak hanya ditentukan oleh siapa presiden dan wakil presidennya, tetapi oleh kualitas perempuan Indonesia.
Semakin banyak perempuan Indonesia berpendidikan tinggi maka akan semakin maju bangsa ini. Perempuan yang berpendidikan bagus akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan berkarakter. Anak-anak yang cerdas dan berkarakter kelak akan menjadi pemimpin yang jujur, adil, dan amanah.
Pendidikan dan Pernikahan
Perempuan merupakan kunci kemajuan bangsa sehingga pemerintah perlu memerhatikan hal berikut. Pertama, perempuan Indonesia yang berpendidikan tinggi masih sangat rendah meskipun masih di atas laki-laki. Perempuan yang berpendidikan SD dan SMP sangat tinggi tetapi menurun pada SMA apalagi perguruan tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, Angka Partisipasi Masyarakat (APM) SD perempuan sekitar 96,86 persen sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang sekitar 96,45 persen di wilayah perkotaan. APM SMP perempuan sekitar 81,80 persen lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang sekitar 79,50 persen di wilayah perkotaan. Sedangkan pada wilayah perdesaan SMP perempuan 77,49 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang sekitar 73,07 persen.
Sementara jenjang pendidikan SMA perempuan sekitar 66,68 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya 64,88 persen di wilayah perkotaan untuk wilayah perdesaan SMA perempuan sekitar 54,37 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya 52,52 persen.
Khusus untuk Perguruan Tinggi perempuan sekitar 26,86 persen lebih tinggi dari laki-laki sekitar 22,54 persen untuk wilayah tinggal perkotaan, sedangkan wilayah perdesaan APM jauh lebih rendah dari perkotaan yaitu 9,62 persen untuk perempuan dan 7,36 persen untuk laki-laki.
Kedua, pernikahan dini perempuan masih sangat tinggi. Akibatnya mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan mengalami resiko kematian bayi serta kesehatan mental mereka. Pernikahan dini merupakan salah satu faktor perempuan tidak melanjutkan kuliah.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka persentase pernikahan dini di Tanah Air meningkat menjadi 15,66% pada 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18%. Kenaikan persentase pernikahan dini tersebut merupakan catatan tersendiri bagi pemerintah yang sedang terus berusaha memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berdasarkan data BPS, mereka yang digolongkan pernikahan dini adalah perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang. Dari catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).
Kedua hal tersebut terjadi karena pertama, faktor budaya. Pendidikan tidak dianggap sebagai faktor utama perbaikan ekonomi dan kesuksesan hidup seseorang. Karena itu meskipun mampu secara ekonomi, orangtua tidak serta merta menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi, apalagi S2 dan S3.
Sekolah dianggap menghabiskan waktu dan uang yang belum tentu bisa kembali setelah selesai kuliah. Misal, sebagian orangtua di Indonesia lebih memilih membeli rokok setiap hari, pergi haji, memiliki rumah yang besar, atau membeli mobil daripada membiayai anak kuliah.
Kedua, faktor ekonomi keluarga. Berbeda dengan wajib belajar 12 tahun yaitu SD, SMP, dan SMA yang “gratis” karena ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah, kuliah sepenuhnya dibiayai oleh orangtua. Sebagian besar masyarakat tidak bisa menjangkau biaya kuliah karena kemiskinan.
Meskipun pemerintah menyediakan beragam beasiswa kuliah bagi yang memenuhi syarat, banyak orangtua yang tidak sanggup membiayai membeli buku, kebutuhan hidup, dan indekos selama kuliah. Tidak semua beasiswa kuliah mencakup biaya semester, bulanan, membeli buku, dan indekos.
Peran Perempuan
Pendidikan yang baik dan tinggi sangat penting bagi peran perempuan masa kini. Pertama, perbaikan ekonomi keluarga. Pendidikan yang bagus membuka peluang perempuan bekerja dalam bidang profesional, bukan domestik atau buruh kasar. Kinerja mereka dihargai tinggi sehingga bisa mengubah ekonomi keluarga. Perempuan tidak bergantung sepenuhnya kepada suami atau keluarga tetapi bisa membantu mereka dalam keuangan keluarga.
Kedua, keterlibatan dalam peran publik. Pandangan bahwa perempuan lebih cocok bekerja di rumah tidak lagi tepat karena perempuan berpendidikan bisa bekerja di kantor, kampus, atau pemerintahan. Kecuali itu, perempuan bisa menjadi pemimpin di kantor atau lembaganya meski saat ini jumlahnya masih sangat kecil dibanding pemimpin laki-laki.
Ketiga, kualitas pendidikan keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak yang menanamkan dan mengembangkan karakter mereka. Ibu yang baik dan cerdas melahirkan anak-anak yang baik dan cerdas. Karena itu, ibu yang berpendidikan tinggi dan berkualitas sangat penting.
Seorang ibu tidak hanya sekedar menyusui dan memberi makan anak-anak hingga tumbuh dewasa, tetapi mengembangkan karakter dan bakat mereka. Bagaimana merawat dan mendidik anak-anak dengan baik dan tepat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus.
Ibu yang berpendidikan akan belajar bagaimana membesarkan anak-anak dengan keseimbangan antara gizi, belajar agama, dan pembentukan karakter; antara jasmani dan ruhani anak-anak. Selain memiliki badan yang sehat, anak-anak juga harus taat menjalankan ibadah dan berakhlak yang baik.
Mendidik anak di era ini tidak mudah karena anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan telepon pintar. Mereka main game, membuka youtube, facebook, instagram, dan lain sebagainya. Disamping dampak positif, media sosial memiliki dampak negatif. Karena itu, dibutuhkan seorang ibu yang cerdas dalam mendidik anak.
Perempuan harus berpendidikan tinggi karena perannya yang sangat besar, baik di rumah maupun di luar rumah. Saatnya orangtua dan pemerintah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan memimpin jika dianggap mampu. Pendidikan perempuan yang bagus juga akan mengurangi angka pernikahan dini karena mereka tahu kapan waktu yang tepat untuk menikah.
Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. (mf)