PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN HUMANISTIK (Bagian 12) Ayahku Adalah Pendidikku (7)
Ada cara lain yang dilakukan oleh “Guru” (panggilan untuk ayah sayah saya) untuk menegur saya, selain menegur secara tidak langsung usai melakukan shalat Magrib. Beliau menegur saya secara langsung, setelah beberapa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip ayah saya.
Ketika saya masih tinggal bersama kedua orang tua saya, yaitu masa sebelum saya melanjutkan studi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, saya harus menggunakan kopiah hitam kalau melakukan shalat. Apalagi kalau shalat Jumat. Saya dan kami semua anaknya, tidak boleh melakukan shalat tanpa menggunakan kopiah. Karena saya selalu menggunakannya, maka saya pun tidak pernah mendapat teguran dari “Guru.” Kami juga harus memakai kopiah pada saat kami membaca Al-Qur’an. Jika kedapatan tidak memakai kopiah, maka kami diminta untuk mengambil kopiah dulu baru melanjutkan mengaji.
Mengapa kami harus memakai kopiah pada saat melakukan shalat dan mengaji? Beliau, “Guru”, menasehati kami. Nasihatnya beliau seperti ini. “Ketika engkau melakukan shalat, sebenarnya engkau sedang menghadap atau berhadapan dengan Allah. Dan ketika engkau mengaji, sebenarnya engkau sedang berbicara dengan Allah. Engkau harus menggunakan pakaian yang bersih dan berpakaian sopan di hadapan Allah.” Nasihat inilah yang selalu teringat di dalam hati saya hingga sekarang.
Setelah saya berada di Makassar untuk melanjutkan studi, kebiasaan menggunakan kopiah ketika melakukan shalat tetap saya lakukan, walaupun sekali-sekali saya tidak menggunakananya. Ketika saya tidak menggunakan kopiah itu, tidak ada lagi orang yang menegur saya, seperti yang saya rasakan ketika saya tinggal bersama kedua orang tua. Dua kawan serumah saya, malah memiliki kebiasaan terbalik. Mereka lebih banyak tidak menggunakan kopiah ketika melakukan shalat daripada menggunakannya.
Selama setahun di Makssar saya mulai mengikuti suasana zaman di sana. Penampilan saya sedikir berubah dari biasanya. Salah satu perubahan yang terjadi pada penampilan saya adalah rambut saya gondrong, sebagaimana sebahagian besar teman-teman saya melakukannya. Inilah pengaruh pergaulan yang mengubah penampilan saya.
Pada saat liburan pada akhir tahun, saya pulang ke Bima karena Ibu kangen sekali dengan saya. Lalu saya pun pulang kampung mengisi liburan akhir tahun yang cukup lama. Saat pulang saya lupa membawa kopiah, dan rambut saya pun masih tetap gondrong. Ketika saya pertama sekali menemui kedua orang tua, mereka menyambut saya dengan hati yang sangat bahagia dan gembira. Kegembiraan itu tampak sekali di wajah kedua orang tua saya. Tidak ada sedikit pun terlihat rasa kecewa dari diri mereka karena mereka melihat saya berambut gondrong. Sementara saya sudah merasa dan berpikir, jangan-jangan “Guru” marah karena saya berambut godorong.
Saya memang menunggu-nuggu teguran itu. Hari pertama tiba, belum ada teguran terkait rambut gondrong itu. Hari kedua juga belum ada teguran. Hari ketiga baru ada teguran. Teguran beliau kepada saya sangat halus dan lembut. Ketika saya duduk-duduk sendirian di kamar keluarga di bahagian belakang rumah, saya didatangi oleh “Guru”, ayah saya. Dengan singkat beliau mengatakan: “Ini uang untuk cukur.” Saya kaget mendengar ucapan ayah itu. Saya lalu terima uang itu. Tidak lama setelah itu saya pun ke tukang cukur di Pasar Kota Bima. Kemudian rambut saya menjadi pendek. Uang yang diberikan kepada saya itu bisa saya untuk dua atau tiga kali cukur karena sisanya masih banyak
Saya masih menunggu teguran yang lain lagi terkait dengan sikap saya yang lain lagi. Beberapa kali di hari-hari pertama saya tiba di Bima, saya tidak ikut salat berjamaah Magrib. Saya melakukan shalat sendirian. Suatu ketika saya melakukan shalat sendirian, rupanya ayah melihat saya shalat tidak memakai kopiah. Saya tidak memakai kopiah karena kopiah saya tertinggal di Makassar. Mungkin juga beliau sudah memperhatikan saya tidak memakai kopiah kalau shalat, tetapi beliau belum menegur saya.
Suatu saat ketika saya duduk senedirian di kamar tamu, tiba-tiba beliau mendatangi saya. Setelah mendekat beliau menyerahkan sejumlah uang kepada saya. Saat itu beliau mengatakan: “Ini uang untuk membeli kopiah.” Saya pun menerima uang itu sambil terkesima dan terheran-heran mendengarkan apa yang ayah katakan dan menyaksikan apa yang “Guru” lakukan. Saya pun segera ke pasar lagi untuk membeli satu kopiah. Uang itu masih bersisa banyak. Saya masih bisa membeli dua kopiah lagi dengan sisa uang itu.
Demikianlah beberapa cara “Guru”, ayah saya menegur saya. Kalau sewaktu tinggal bersama beliau, saya selalu ditegus dan dinasehti usai melaksanakan berjamaah Magrib. Ketika saya sudah di Perguruan Tinggi, cara “Guru” menegur saya berbeda, tidak lagi usai shalat, tetapi di luar waktu shalat berjamaah. Pendidikan yang seperti ini merupakan ciri khas pendidikan yang diberikan oleh ayah saya kepada saya dan kepada kami semua, anak-anaknya. Semua ini sangat meresap dan tertanam dalam diri saya hingga sekarang.
Persoalannya adalah mampukah saya melakukan hal seperti itu untuk anak-anak, dan anak didik saya? Saya belum tahu. Semoga saya mampu melakukannya. Semoga ada manfaatnya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. Jakarta-Matraman, Jumat pagi, tanggal 26 Agustus 2016.