PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN HUMANISTIK (Bagian 5) Ayahku Adalah Guruku
PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN HUMANISTIK (Bagian 5) Ayahku Adalah Guruku

Setiap anak mempunyai pengalaman yang berbeda dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari orang tuanya. Demikian pula saya. Saya mendapatakan pendidikan dan pengajaran yang bebeda dengan anak yang lain. Ayahku adalah guruku. Itulah ungkapan yang paling tepat yang aku berikan untuk ayahku.

Saya masih ingat betul ketika saya masih kecil, kakak perempuan saya, Zainab, biasa memanggil ayah dengan panggilan Daeng Mama. Panggilan Daeng diberikan kepada beliau sama dengan panggilan yang diberikan kepada adik-adik beliau dan kepada sepupu beliau. Panggilan ini digunakan, karena konon kabarnya, ayah memiliki hubungan darah dan hubungan kekuarga dengan keluarga Bugis. Ayah pernah bercerita kepada saya dan isteri saya bahwa kakek beliau berasal dari Bugus Bone. Cerita itu beliau sampaikan setelah saya kawin dengan perempuan Bugis-Bone yang hingga menjadi pasangan hidup saya.

Sebutan Mama diberikan kepada beliau, diambil dari nama resmi beliau adalah Muhammad. Demikianlah orang-orang di kampung saya, memanggil seseorang yang bernama Muhammad dengan Mama. Panggilan singkat seperti itu mempunyai makna tersendiri, sebagai tanda penghormatan keoada orang yang lebih tua. Kalau dipanggil dengan Daeng Muhammad kurang sopan. Oleh sebab itu pangilan Daeng Mama yang berarti Daeng Muhammad merupakan kehormatan untuk orang yang lebih tua.

Pemberian nama dan panggilan yang baik itu, mungkin terinspirasi oleh QS. Al-Hujurat ayat 11, dana anjuran Rasulullah untuk memberi nama keoada seseorang dengan nama yang baik. Pemberian nama yang menjadi penting, menurut hadis nabi, karena nama yang kita sandang sekarang akan digunakan hingga akhirat kelak. Di Padang Mahsyar nanti setiap orang akan dipanggil dengan nama itu untuk menerima rapir amalnya di hadapan Allah swt.

Panggilan seperti itu tidak berlangsung lama untuk ayah saya. Karena ayah meminta kakak dan kami semua untuk memanggil dan menyapa beliau dengan Guru tanpa ada embel-embel yang lain lagi. Sejak saat itu kakak saya dan kami semua memanggil beliau dengan guru. Kata beliau, panggilan dan sapaan guru itulah di antara panggilan yang baik. Sejak itu hingga sekarang kami semua memanggil beliau dengan guru. Sebutan guru, juga kami abadikan dalam nama yayasan yang kami dirikan dengan nama Yayasan Para Muallim, Yayasan para guru. Yayasan ini yang mengurus, antara lain, pendidikan di Pondom Pesantren yang ada di desa kelahiran saya Parado.

Ayah sebagai guru, betul-betul guru. Beliau tidak hanya disapa sebagai guru, tetapi menjalankan tugas dan fungsi sebagai guru. Beliau adalah guru bagi saya, kakak saya, dan semua adik-adik saya, tidak hanya sebagai guru pendidikan informal di rumah, guru nonformal kursus, tetapi juga sebagai guru formal di sekolah. Saya telah menjadi murid beliau di waktu saya masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyaah di desa kelahiran saya, menjadi murid sewaktu saya duduk di Madrasah Tsanasiwah Agama Islam Negeri (MTsAIN) di Bima, dan menjadi murid beliau ketika saya duduk di Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) di Bima.

Pendidikan dan pagajaran dari beliau begitu sangat terasa bagi diri saya hingga sekarang. Bagaimana tidak? Ketika saya di rumah beliau menjadi guruku. Ketika saya berjalan bersama beliau, beliau menjadi guruku. Ketika saya di sekolah, beliau menjadi guruku. Hingga sekarang pun, setelah saya menjadi seorang profesor, beliau tetap menjadi guruku dan selalu mendapat ilmu dan pendidikan dari beliau.

Beberapa dari pendidikan dan pengajaran dari beliau, akan saya sampaikan di taushiyah saya di FB dalam beberapa hari ke depan. Semoga nanti menjadi inspirasi buat saya, dan buat yang lain.

Tulisan ini saya maksudkan untuk mengenang jasa-jasa beliau yang telah menjadi pengalaman yang inspiratif bagi saya dalam mendidik murid-murid dan mahasiswa-mahasiswa saya. Semoga tulisan inj ada manfaatnya. Aamin. Makassar-Hotel Clarion Makassar, Jumat pagi, tanggal 20 Agustus 2016.