PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN HUMANISTIK (Bagian 6) Ayahku Adalah Guru Privatku (1)
Ayahku adalah guru privatku. Inilah kata yang paling tepat yang aku harus sandangkan kepada beliau. Mengapa tidak? Inilah sebahagian ceritanya.
Sewaktu saya masih tinggal di desa kelahirkan, Parado, ketika saya masih duduk di kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah, beliau adalah juga guru ngajiku, di samping ibuku. Setiap malam saya bergabung dengan kawan-kawan saya, yang juga belajar mengaji dari ayahku. Jumlah mereka sekitar 20 orang. Masing-masing murid ngaji membawa lampu pelita mereka yang digunakan untuk mereka sendiri. Mushaf Al-Qur’an sudah disiapkan di rumah. Rumah yang digunakan tempat ngaji itu adalah rumah panggung, yang lantainya terbuat dari papan.
Aturan ngaji di rumah beliau sangat ketat dan disiplin. Mengaji Qur’an dimulai setelah magrib hingga kira-kira jam 9 malam. Kalau waktu ngaji sudah berakhir, semua harus menutup aktiftasnya lalu nginap di rumah itu. Pagi-pagi semuanya bangun sebelum waktu subuh, lalu melakukan shalat Subuh. Setelah shalat Subuh, kami mengaji lagi. Ada juga di antara mereka yang suka ngompol, yang kemudian susah untuk mengaji pada pagi hari. Mereka ini tidak dapat mengikuti ngaji pada pagi hari. Mereka langsung pulang ke rumah mereka.
Saat kami mengaji, beliau duduk di salah satu bahagian ruangan. Beliau duduk berhadapan dengan kami. Model kelas ngajni adalah model halaqah. Kami selalu membaca ayat-ayat itu dengan bersuara sehingga bacaan kami kedengaran oleh beliau. Ada beberapa tugas penting beliau terhadap para murid-muridnya. Di antaranya adalah beliau menuntun murid baru, menuntun murid yang lama untuk menuntun bacaan lanjutan, dan mememperbaiki bacaan murid yang kurang baik.
Tugas yang lain yang amat penting adalah mengawasi para murid ngaji. Kalau ada murid yang malas mengulangi bacaan yang sudah diajarkan beliau menegurnya. Kalau ada murid yang ngantuk, beliau mendatanginya satu persatu. Lalu beliau mengetok dahi murid yang ngantuk itu dengan jari tengahnya sehingga dia kaget. Atau beliau menempeleng salah satu pipinya. Semua yang mendapatkan sanksi itu kaget semua. Lalu mereka terbangun atau terjaga dari rasa ngantuknya.
Selesai menghukum para muridnya, beliau lalu berkata kepadanya “Ini syetan. Ini syetan. Ini syetan.” Lalu beliau memerintahkan untuk turun mengambil wudhu’ di pedasan yang ada di samping tangga. Saya juga tidak luput dari sangki seperti itu. Saya juga mendapatkan sanksi seperti itu beberapa kali. Dahi saya diketok, dan pipi saya ditempeleng. Rasa sakitnya tidak terlalu. Tetapi, yang terasa adalah bahwa kita malu dengan snaksi seperti itu. Tidak ada staupun murid yang tobat dengan sanksi itu dan tidak ada satu murid yang mendapatkan sanksi itu yang kabur meninggal tempat pengajian. Mereka tetap bertahan hingga mereka mampu mengaji dan tamat mengaji Al-Qur’an di situ.
Satu-satu malam libur bagi murid-murdi ngaji itu adalah hari Jumat. Malam Jumat itu dimanfaatkan oleh ayah sebagai hari khusus untuk keluarga. Sebelum waktu maghrib, kami semua sudah siap dengan wudhu’. Bahkan, tidak jarang ayah yang menimbakan air dari sumur untuk kami, dan disiapkan untuk wudhu’. Lalu kami berwudhu’ dan pada saat itu pula ayah memperbaiki cara wuhdu’ kami dan mengajarkan kepada adik-adik saya dengan wudhu’ yang benar. Usai berwuhdu’, kami dipakaian baju dan sarung, yang pada umumnya berwarna putih. Saya, kami semuanya anak-anaknya diajari oleh ayah dan ibu bagaimana cara memakai sarung dan melilitkannya di perut sebelum waktu shalat.
Setelah semuanya siap di tempat shalat, saya atau salah satu dari saudara saya yang ditunjuk beliau untuk melakukan adzan. Lalu disusul dengan iqamah. Begitulah kami bergiliran untuk melakukan adzan Magrib dan iqamah. Setiap kami dapat giliran untuk adzan dan iqamah. Tidak mengherankan kalau kami dapat melakukan adzan dan iqamah dengan baik. Sebelum melakukan adzan, kami diajari doa atau bacaan sebelum adzan dan doa sesudah adzan. Kami juga diajari doa sesudah iqamah.
Sudah menjadi kewajiban bagi keluarga kami untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah itu sejak saya duduk di kelas 3 Madrasah Ibtidaiyyah hingga saya meninggalkan ayah dan ibu saat ke Makassar untuk melanjutkan studi. Semua anggota keluarga harus hadir pada sahalat Magrib itu. Ayah menjadi imam. Kami anak-anaknya menjadi makmum di saf pertama, dan ibu sendiri berdiri di belakang kami di saf yang kedua. Shalat-shalat yang lain, selain shalat Magrib, dibolehkan melakukan sendiri-sendiri, tidak dengan berjamaah.
Ada cara ayah saya yang menarik dalam mengajarkan semua bacaan rangkaian shalat. Setiap kali akan melakukan adzan, kami diajri doa sebelum adzan dan sesudah adzan. Demikian pula doa sesudah iqamat. Semua bacaan di dalam shalat diajarkan kepada kami tidak dengan cara khusus di luar shalat, tetapi diajarkan kepada kami pada saat beliau menjadi imam shalat.
Beliau membaca setiap bacaan di dalam shalat dengan suara yang keras, yang dapat kami semua dengar. Bacaan uhsalli keras. Bacaan takbir ihramnya keras. Bacaan doa iftitahnya keras. Semua bacaan dan doa-doa yang lain di dalam shalat semuanya dibaca dengan keras. Dari bacaan-bacan ayah yang keras itulah, kami dapat menghafal semua bacan shalat itu hinga sekarang.
Bisa Anda bayangkan, kalau kami setiap shalat Magrib, sekali dalam sehari, kami selalu mendengarkan bacaan-bacan dan doa itu. Kalau kami mengikuti shalat jamah magrib dalam setahun dengan beliau, maka kami pasti mendengar bacaan itu sebanyak 366 kali. Bagaimana kalau bertyahun-tahun kami ikut sama beliau, maka sekian ratusan dan bahkan ribuan kali kami mendengar bacan itu. Bagaimana mungkin, kami tidak menghafalnya.
Beliau, menurut saya, adalah guru privat yang hebat dalam mengajarkan mengaji dan mengajarkan shalat dan bacaan-bacaannya. Semoga ilmu beliau menjadi amal jariah yang tidak akan pernah putus sejak di dunia ini hingga akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. Jakarta-Matraman, Sabtu pagi, tanggal 20 Agustus 2016.