PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN YANG HUMANISTIK (Bagian 2) Ibuku Adalah Guruku
Ibuku menjadi idolaku sepajang hidupku, sebagaimana juga kawan-kawan FB mengidolakan ibunya. Mengapa tidak? Ibuku tidak hanya menjadi perempuan yang telah mengandungku, melahirkanku, mengasuhku, dan membesarkanku sehingga menjadi seperti ini, tetapi juga menjadi perempuan yang mengajari ilmu, memberikan pendidikan yang luar biasa, dan mendidik untuk hidup mandiri bagi saya, dan adik-adik saya.
Ibuku adalah anak ke-11 dari 12 bersaudara yang lahir dari satu pasangan suami-isteri, kakekku-nenekku, H. Ya’kub dan Mukminah. Ibuku adalah salah dari 8 putri mereka. Ibuku telah memainkan peranan yang amat penting sebagai ibu, guru, dan pendidik. Walau Ibuku hanyalah tamatan sekolah dasar, tetapi begitu ilmu dan pendidikan yang saya dapat dari beliau.
Masih segar dalam pikiran saya beberapa ilmu dan pendidikan yang telah diberikannya kepada kami semua sebagai anaknya, yang berjumlah 9 orang itu, 2 di ataranya perempuan. Perempuan yang satu adalah kakak saya, sedang saya adalah anak kedua, dan perempuan yang kedua adalah adik yang ke-8.
Pendidikan yang begitu banyak yang saya dapatkan dari ibuku, terutama setelah ayah dan ibu pindah ke rumah mereka sendiri yang terletak di Desa Parado, yang jauhnya sekitar 1 km dari rumah kake di desa Kanca. Desa Parado ini menjadi desa sentral yang menghubungkan antara beberapa desa yang ada di sekitarnya. Kata Parado itu, konon kabarnya, diberikan oleh Belanda, yang diambil kata Paradise, yang berarti “surga.” Desa ini adalah desa yang sejuk dan dingin terletak di sekitar beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Ketika masa kejayaan kerajaan Bima dan masa penjajahan, desa ini menjadi peristirahatan dan tempat rekreasi.
Ibuku telah membantu ayah melaksanakan tugas mengajar mengaji bagi para pemuda dan pemudi yang ada di kampung dan desa itu, seperti yang dilakukan oleh ayahnya, kakek saya. Ibu bertugas mengajar para pemudi di kamar dalam, sedangkan ayah mengajar mengaji untuk pada pemuda di kamar depan. Para murid ngaji itu nginap di rumah itu. Mengajar mengaji dilakukan pada malam hari setelah magrib dan pagi hari setelah shalat Subuh. Kecuali malam Jumat, mereka diliburkan, tidak ada pengajaran mengaji.
Di luar waktu mengajarkan mengaji kepada pemuda-pemudi itu, ibu mengajarkan saya dan adik-adik saya sepulang sekolah, atau pada sore hari, dan bahkan bergabung dengan pemuda dan pemudi itu. Metode mengajar mengaji ibu sama parsis dengan metode pengajaran mengaji dari kakek saya. Tidak boleh membaca ayat yang lain sebelum membaca surah al-Fatihah dengan baik dan benar. Beliau pula yang mengajarkan cara membaca dan mengucapkan huruf. Beliau yang memantapkannya setelah nenek mengajarkan saya di awal.
Ketika pada siang hari setelah pulang sekolah dan mengaji, kami boleh bermain dengan teman-teman kami di halaman rumah kami dan tidak ada larangan pula bagi kami untuk bermain di luar rumah. Permainan yang biasa kami lakukan di antaranya adalah permainan kemiri. Kami berada dalam permainan itu untuk mendapatkan kemiri sebanyak-banyaknya dari kawan-kawan kami. Permainan yang lain adalah bermain kelereng. Permainan lainnya adalah bermain bola. Bolanya dari kulit pisang yang sudah kering.
Ketika kami akan bermain dengan kawan-kawan kami, Ibu selalu mengajarkan dan menasihati kami, “Jika kamu bermain dengan teman-temanmu, jangan pernah mengatakan kalimat-kalimat yang kotor dan tidak senonoh kepada kawan-kawanmu. Jangan pula menyakiti satu pun dari mereka, dan jangan pula berkelahi. Bermainlah dengan damai.” Jika kawan-kawan kami datang bermain bersama kami di halaman rumah atau di bawah kolong rumah kami, beliau selalu menasihati mereka pula: “Kalau kamu bermain di sini, jangan pernah mengatakan kalimat-kalimat yang kotor, yang tidak senonoh, dan jangan pula berkelahi. Bermainlah dengan damai.” Inilah nasihad ibu kepada kami dan kepada kawan-kawan kami.
Sekian dahulu untuk hari ini. Lanjutanya, in syaa Allah, akan disampaikan besok. Semoga ada manfaatnya. Aamiin. Jakarta-Matraman, Selasa pagi, tanggal 16 Agustus 2016.