PENGALAMAN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN YANG HUMANISTIK (Bagian 3) Ibuku Adalah Guruku
Nasihat ibu yang melarang kami mengatakan kalimat-kalimat yang kotor dan tidak senonoh, menyakiti satu pun dari mereka, dan berkelahi dengan kawan-kawan kami, tetapi bermainkah dengan damai, meruapakan nasihat-nasihat yang luar biasa yang mungkin pada waktu itu tidak pernah ada di tempat lain, dan mungkin juga hingga sekarang tidak pernah didengar. Nasihat itu begitu luar biasa, tidak hanya bagi kami sebagai anak-anaknya, tetapi juga bagi teman-teman kami yang bermain bersama kami. Menurut saya, inilah ilmu bergaul yang luar biasa yang diajarkan oleh ibu kepada kami sejak kecil hingga saat masih berbekas dalam ingatan dan sikap kami.
Pada saat kami bersama-bersama di antara saudara, saya dengan adik-adik saya, dan saya dengan adik-adik saya, kami harus saling menghargai, dan di tengah-tengah orang lain, kami harus menghormati orang lain.
Kalau kami nakal, tidak turut dan tidak patuh atas perintah ibu dan ayah, satu-satunya sanksi yang selalu diberikan kepada kami adalah ibu atau ayah memukul telapak kaki kami bahagian bawah dengan menggunakan sepotong rotan, yang diameternya sebesar ibu jari kaki. Bekas pukulan itu sakitnya juga luar biasa. Kami pun memohon “ampun ibu, ampun ibu, ampun ibu,” atas kesalahan itu. Kami pun menangis karena kesakitan. Saya ingat betul tidak ada bahagian badan yang lain yang dipukul sebagai sanksi atas ketidakpatuhan kami.
Dalam keadaan kami menangis, usai mendapat sanksi itu, Ibu selalu mengatakan kepada kami, “Jangan pernah kalian durhaka kepada kedua orang tuamu, saya atau gurumu (panggilan untuk ayah kami). Jangan pernah kalian membuat kedua orang tuamu mengeluarkan setetespun air matanya akibat durhakamu, sebab setetes air mata yang keluar dari mata kami itu akan menjadi sebuah lautan yang luas lagi panas. Engkau akan berenang dalam lautan yang panas itu, sebagai balasan Allah atas durhaka kepada kami, kedua orang tuamu.” Bagaimana kalau bertetes air mata kedua orang tua yang keluar? Berarti akan menjadi lautan-launtan yang panas. Na”uudz-u bi Allaah-i min dzaalik-a.
Saya sudah mencari nasihat ibu itu di dalam Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, tetapi ternyata teksnya tidak ada. Walau demikian, begitu indah nasehat itu, dan terekam kuat di dalam hati saya, tetapi sangat menakutkan dan mengerikan bagi saya. Pesan itu tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya, dan juga adik-adik saya, saya kira. Sebab, setiap kali kami nakal dan tidak taat kepada ibu, sanksi itulah yang selalu diberikan, dan kalimat dan nasihat itu pula yang selalu keluar dari mulut ibu.
Adalagi ancaman sanski yang lain yang selalu diancamkan kepada kami apabila kami tidak patuh dan taat kepada ibu. “Saya akan menggantung kami.” Lalu Ibu mengambil seutas tali, yang memang sudah selalu siapa untuk digunakan. Ibu lalu meningkatkan tali itu pada kayu yang terdapat di atas plapfon rumah. Setelah itu, lingkaran tali itu diikatkan dengan kaki kami, lalu ibu menarik tali itu sedikit demi sedikit untuk mengantung kami. Kami lalu memohon ampun kepadanya sebanyak-banyaknya, “Ibu ampun, Ibu ampun, Ibu ampun!!!!” Itulah kata permohonan yang selalu kami ucapkan kepada ibu. Rencana menggantung kami tidak pernah terlaksana. Itu adalah salahs atu cara ibu untuk menakut-nakuti kami dengan ancaman hukuman yang berat seperti itu.
Wahai Ibu. Jasa-jasamu tidak tehitung banyaknya, tidak terukur besarnya, tidak terjangkau luasnya, dan tidak pula terpantau dalamnya. Yang jelas, itu semua kami merasakannya dan berbekas di dalam hati dan sanubari kami kekal abadi. Itu pulalah yang menjadi bekal hidup kami di tengah-tengah zaman yang tantangannya jauh lebih besar daripada tantangan ibu pada waktu itu.
Inilah sebahagian dari pendidikan yang humatistik yang saya alami dari pendidikan dan nasihat ibu saya. Pastilah, pendidikan dan nasehat beliau itu menjadi amal jariah yang tidak akan pernah putus pahalanya selamanya. Karena pendidikan dan pengajarannya itu, saya menjadi seperti ini. Semoga ada manfaatnya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. Jakarta-Matraman, Rabu pagi, tanggal 17 Agustus 2016.