Pudarnya Budaya Berbahasa
Pudarnya Budaya Berbahasa

Persaingan elite politik akhir-akhir ini menjelang Pilpres dan Pileg 2019 sudah mengarah ke pola berbahasa yang tidak sehat dan cenderung destruktif. Usaha saling menjatuhkan dan menyerang lawan politik dilakukan dengan pilihan kata yang jauh dari norma kesantunan berbahasa orang timur pada umumnya; seperti elite politik bermental maling, tampang miskin, presiden plonga-plongo, politisi sontoloyo, genderuwo, tabok, budek, KPK sinting, dungu, dan lain-lain. Kata-kata itu bukan saja tidak santun atau kasar menurut etika berbahasa, tetapi juga tidak berakhlak menurut ajaran agama.

Mungkin para elite kita tidak sadar bahwa penggunaan kata-kata seperti itu bisa berdampak pada perilaku masyarakat, utamanya kepada para generasi muda. Meminjam istilah Foucault, Agus Suwignyo (Kompas, 30/10/2018) menyatakan lebih dari sekadar alat komunikasi bahasa menyimpan potensi kuasa untuk membentuk pola pikir dan keyakinan masyarakat yang pada akhirnya mewujud dalam perilaku dan struktur kehidupan sehari-hari.

Pasca Indonesia memasuki euforia politik menyusul tumbangnya Orde Baru Mei 1998, hingga kini perilaku berbahasa masyarakat kita cenderung liar dan serampangan. Era keterbukaan menjadikan ruang demokrasi terbuka lebar, yang memunculkan suasana euforia. Euforia ternyata tidak hanya dalam politik setelah tiga dasawarsa terbelenggu dan tersandera oleh sistem pemerintahan otoriter, tetapi juga dalam berbahasa. Wujudnya kata-kata bernada sarkasme dan kasar begitu bebas bermunculan, bukan saja oleh kalangan kelas bawah tetapi juga para elite politik, baik mereka yang duduk di lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif.

Tata krama berbahasa seolah tidak lagi diperhatikan. Yang mengherankan para elite ituĀ  bukan orang tidak mengenal bangku sekolah. Kebanyakan dari mereka adalah para sarjana, magister, bahkan sebagian bergelar guru besar. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bahwa kata-kata yang mereka ucapkan itu mencerminkan siapa jati diri penggunanya secara utuh.

Kontestasi dan persaingan menjelang pemilu merupakan hal biasa dalam alam demokrasi. Yang menjadi tidak biasa dan terasa aneh adalah ketika para elite sudah tidak lagi mampu mengontrol bahasanya sehingga kata-kata kasar bermunculan dalam komunikasi politik mereka. Bahasa tidak bisa dimaknai sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi lebih dari itu bahasa sebagai wadah ekspresi gambaran batin penuturnya. Bahasa yang tidak terstruktur secara gramatika dan pilihan diksi yang jauh dari tata krama kesantunan berbahasa menggambarkan hilangnya nilai-nilai moralitas dan akal sehat penuturnya. Bahasa yang kacau menggambarkan pola pikir penuturnya yang bermasalah. Selain sarkasme, belakangan kita saksikan fenomena nyinyirisme dalam berbahasa saat ini. Belum lagi ditambah merajalela berita-berita hoax melalui media sosial yang dengan mudah dikonsumsi oleh generasi muda-millenial. Suasana kebahasaan kita benar-benar memprihatinkan (dengan tidak menggunakan istilah membahayakan).

Jika kita lihat saat ini ada banyak kasus yang sedang atau telah diproses pihak kepolisian adalah masalah yang ditimbulkan berbahasa seseorang; ujaran kebencian, kebohongan, dan nyinyiran. Sebut saja kasus Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, dan sejumlah pengguna medsos yang dilaporkan karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Parahnya lagi kondisi seperti itu dilakukan oleh pendukung dua kubu calon presiden yang akan berkompetisi pada 17 April nanti.

Menko Polhukam Wiranto dalam keterangannya yang dilansir dari (Detikcom, 25/10/2018) menyebutkan bahwa ada 53 kasus hoax danĀ  342 kasus hate speech yang terjadi pada tahun 2018 lalu, itu belum termasuk yang tidak diungkapkan oleh pihak yang berwajib. Angka itu sangat memperihatinkan, dan sebagai dari terlapor tidak mengerti kenapa dia dianggap melakukan kesalahan. Bisa jadi mereka tidak mengetahui dan memahami UU ITE yang telah diberlakukan.

Sebelumnya, DKI Jakarta punya gubernur Ahok yang banyak orang tau gaya berkomunikasi Ahok cenderung kasar dan frontal, meskipun oleh sejumlah kalangan disebut sikap Ahok merupakan ketegasan. Diakui juga Ahok berkontribusi terhadap perbaikan dan penataan sejumlah wilayah di DKI Jakarta. Tetapi akan lebih baik jika ketegasan yang ada pada diri seseorang disertai dengan kesantunan berbahasa.

Mungkin kondisi saling ejek dan hinaan yang belakangan juga terjadi dari dulu, tetapi kondisi seperti itu paling parah terjadi dimulai saat Pilpres 2014, masyarakat seolah dipaksa untuk terpolarisasi menjadi dua kubu; kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Habis energi anak bangsa saat itu hanya karena membela pilihannya dan mencela lawannya.

Adu argumentasi di kalangan elite politik untuk menyelesaikan persoalan bangsa mestinya bisa dilakukan bilhikmah dan dengan penalaran jernih, bukan melalui saling hujat lewat kata-kata kasar. Tidak berlebihan jika dikatakan perilaku berbahasa para elite politik kita tidak lagi bermartabat. Praktik berbahasa yang bermartabat tidak saja saling mengerti antarpenggunanya, tetapi juga menyiratkan makna yang luhur, benar dan indah, yang dapat dicapai melalui pilihan kosakata penuh kearifan, bukan kosakata penuh sarkasme dan kebencian.

Bangsa yang bertabat dan berperadaban maju tidak saja diukur dari pencapaian atau kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, tetapi juga keluhuran berbahasanya. Menurut Gufran Ali Ibrahim (Kompas, 2/11/2015) supaya kita menjadi bangsa yang berbudi bahasa tinggi, maka berbahasa tidak cukup diukur dengan baik dan benar, tetapi juga kecermatan, keapikan, dan kesantunan. Kecermatan berkelindan dengan gramatika dan penalaran, keapikan terkait dengan estetika bertutur mengatarsis jiwa, dan kesantunan berasosiasi dengan pengelolaan etika bercakap.

Singkatnya, berbahasa yang cermat ialah berbahasa yang bernalar, berbahasa yang apik ialah yang menggugah dan berbahasa yang santun ialah yang mengajak dan merangkul. Itulah tiga kriteria rambu-rambu penting yang mesti diperhatikan oleh para elite politik dan semua pengguna bahasa di negeri ini untuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Muslikh Amrullah, MPd, Staf Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (mf)