Mencari Pemimpin Negarawan
Kurang dari satu minggu, tepatnya 17 April 2019 perhelatan demokrasi terbesar lima tahunan negeri ini kembali digelar. Berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya, kini pemilihan DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/ kota akan dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pemilu atau pilpres sesungguhnya merupakan wujud demokrasi yang hidup di negeri ini. Lepas dari berbagai dinamika yang mewarnai iklim politik akhir-akhir ini. Tujuannya adalah memilih seorang wakil rakyat, baik dalam ruang lingkup kabupaten/ kota, provinsi, presiden dan wakil presiden. Namun, setiap pelaksanaan dan pascapesta demokrasi digelar, masih menyimpan persoalan substansi yang jarang mengemuka. Persoalannya adalah apakah pesta demokrasi yang menghabiskan dana sangat besar mampu memilih dan menempatkan sosok negarawan atau politikus yang akan memimpin negeri ini. Suatu pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Sebab, pertanyaan ini akan mengantarkan pada suatu jawaban yang berkorelasi secara signifikan terhadap hasil kepemimpinan yang diamanahkan.
Sudah saatnya Indonesia memiliki pemimpin negarawan, bukan pemimpin politikus. Secara substansi, tipikal sosok pemimpin negarawan dan politikus akan memiliki dampak yang berbeda. Sosok pemimpin yang berkarakter negarawan memiliki sifat mengayomi dan memikirkan masa depan bangsa untuk menitipkan kecemerlangan pada generasi yang akan datang. Sosok negarawan memiliki idealisme yang kokoh dengan harga diri yang terjaga. Kehadirannya bagai seorang “ayah” mengantarkannya menjadi sosok yang bijaksana dan berpikir visioner untuk membangun masa depan yang beradab dan bermartabat kepada anak cucunya. Untuk mencapai visi ini, kehadiran sosok pemimpin negarawan senantiasa merangkul seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat perbedaan suku, agama, dan ormas untuk mencapai maksud yang dicita-citakan, yaitu kebahagiaan bagi seluruh umat/ rakyat. Seluruh tindakan dan kebijakannya berasal dari sebuah pemikiran dan pertimbangan yang matang. Sosok negarawan yang teruji oleh zaman dalam konteks Islam diantaranya adalah Rasulallah, Khalifaturrasyidin, atau Umar bin Abdul Aziz.
Seorang negarawan akan lebih meletakkan profesionalisme dan moral sebagai standar utama. Kebijakannya berangkat dari kepentingan kolektif rakyat dan meminimalkan dominasi kepentingan kolegial yang bersumber kepentingan dan dorongan kelompok. Sosok negarawan tak pernah berjanji pepesan kosong. Jika berjanji, janjinya adalah utang yang akan dipertanggung jawabkan terhadap yang dipimpin dan Tuhannya. Baginya, amanah sebagai seorang pemimpin harus membawa kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian bagi umat manusia dan makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Berbeda dengan tipikal sosok pemimpin politikus yang hanya memikirkan kepentingan sesaat demi tercapainya tujuan pribadi dan kelompok terbatas. Pandangan tipikal pemimpin berkarakter politikus hanya mengedepankan diri dan kolegial-primordial. Programnya hanya mampu menjadi lipstik yang memperindah tapi tak menyehatkan, janjinya adalah buayan kata mutiara yang sulit diartikan dan direalisasikan, aktualisasi kerja yang dirumuskan hanya menguntungkan segelintir orang yang manfaatnya tak mampu menjangkau secara luas, senyumnya merupakan bagian tebaran penderitaan bagi umat, kebijakannya hanya untuk membuai mimpi yang tak pernah terwujud dalam alam realita, politik yang diterapkan lebih mengutamakan “Anda orang siapa? -- Anda di barisan mana?”, dan penegakan supremasi hukum hanya menganut filosofi pisau bermata tunggal.
Pemimpin negarawan selain sudah diciptakan Tuhan, ia juga tidak dibentuk secara instan. Butuh proses panjang seseorang menjadi sosok pemimpin Ideal. Partai politik sesungguhnya bukan menciptakan politikus, akan tetapi menciptakan negarawan melalui kaderisasi kepartaian. Bukan cara instan dengan mencalonkan publik figur (artis, pelawak, pengusaha dll) yang dianggap dapat mendongkrak suara partai meskipun mereka tidak pernah sama sekali aktif di organisasi kemahasiswaan, kemasyarakatan maupun kepartaian.
Dengan berbagai persoalan yang mendera dan membelit wajah negeri oleh dinamika politik "belah bambu" lima tahun terakhir ini, sosok pemimpin yang berkarakter negarawan sangat diperlukan guna menyatukan lagi anak bangsa yang bercerai berai karena beda pilihan.
Meski sosok negarawan tak bisa dilahirkan melalui proses instan, namun bukan berarti negeri ini kehilangan sosok “pemimpin negarawan”. Hanya saja persoalannya adalah pertama, apakah sistem yang diterapkan dalam pesta demokrasi yang bertujuan “menghadirkan” sosok pemimpin yang negarawan mampu memberi peluang untuk negara ini dipimpin oleh sosok negarawan?
Kedua, apakah sosok pemimpin negarawan mampu muncul kepermukaan di tengah kuatnya arus politik transaksional yang menekan munculnya sosok negarawan?
Ketiga, apakah rakyat kehilangan mimpi dan akal sehat sehingga lebih suka dipimpin oleh pemimpin yang berkarakter politikus yang menjanjikan “pepesan kosong” yang tak pernah nampak di alam realita, dari pada sosok pemimpin negarawan yang berpikir kerakyatan dengan moral terjaga?
Agaknya sulit untuk melihat kecerdasan masyarakat saat ini yang semakin pragmatis dan serba instan dalam melihat dan ketidakmampuannya membedakan antara sosok pemimpin bekarakter negarawan atau berkarakter politikus. Benang kusut ini akan mulai terurai tatkala seluruh elemen negeri ini menjadi makhluk sadar, cerdas, dan bijak dalam memilih sosok pemimpin yang akan menakhodai kapal besar dengan bermacam suku, budaya, agama, dan bahasa bernama Indonesia.
Apakah tipikal pemimpin negarawan ada di sosok Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi? Atau apakah mereka sebatas pemimpin politikus yang akan berjuang untuk golongan dan pemodalnya? Kita berharap, semoga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan terpilih nantinya adalah putra-putra terbaik bangsa yang akan mampu berperan sebagai pemimpin negarawan dan membawa kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan bagi masyarakat Indonesia secara luas.
Semoga Allah SWT meridhai dan membimbing presiden dan wakil presiden yang akan terpilih sehingga rakyat kembali bersatu, bersaudara, dan bersama-sama bahu membahu membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.
Muslikh Amrullah, MPd, Staf Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (mf)