Menyoal Pendidikan Profesi Guru
Pendidikan Profesi guru (PPG) dalam jabatan masih dilaksanakan pada 2019 ini, padahal menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seharusnya selesai pada 2015. Hal ini dikarenakan terbatasnya dana pemerintah dan sedikitnya Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) penyelenggara PPG.
Dampaknya adalah belum semua guru dalam jabatan memiliki sertifikat pendidik, sehingga mereka tidak mendapatkan Tunjangan Pofesi Guru (TPG). Padahal tugas dan fungsi mereka sama dengan guru yang bersertifikat. Selembar sertifikat pendidik membedakan kesejahteraan guru satu dengan lainnya.
Jarak Kampus
Kemenristekdikti, Kemdikbud, dan Kemenag perlu meninjau ulang kebijakan PPG dalam jabatan, yaitu revisi UU Nomor 14/ 2005, UU Nomor 12/ 2015, PP Nomor 19/ 2017, dan Permenristekdikti Nomor 19/ 2017. Jarak LPTK terlalu jauh dengan domisili guru-guru. Contoh, UIN Jakarta pada 2019 ini menerima peserta PPG yang berasal dari Lombok dan Kalimantan. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan guru sangat besar, seperti tiket pesawat, penginapan, dan kebutuhan sehari-hari, selama empat bulan.
Mereka juga harus berpisah dengan keluarga: suami atau istri, dan anak-anak. Alih-alih belajar dengan tekun, mereka yang tidak kuat mental tidak bisa fokus dalam kegiatan PPG. Mereka mengalami stres, pingsan, dan sakit—seperti yang sering terjadi selama ini. Perlu diketahui, sebagian mereka usianya di atas 40 tahun.
Mohon maaf, gaji guru-guru tersebut sangat rendah, dibawah satu juta rupiah. Biaya PPG sangat membebani mereka yang selama ini hidup penuh kesederhanaan—untuk tidak mengatakan kekurangan. Untuk sampai di kampus, mereka terpaksa berhutang atau menjual sesuatu yang berharga milik mereka, seperti kerbau dan kambing. Mereka tidak memiliki komputer—yang harusnya digunakan selama PPG—karena tidak memiliki uang.
Jadi, untuk mendapatkan TPG bulanan yang sering tidak tepat jumlah dan waktu itu, mereka harus mengeluarkan uang banyak. Itu pun kalau lulus ujian tulis daring dan ujian praktik mengajar. Jika mereka tidak lulus PPG—seperti terjadi selama ini, apakah proses pendidikannya yang salah atau input kompetensi gurunya yang sangat lemah.
Kompetensi Guru
Guru peserta PPG umumnya lemah dalam kompetensi profesional, pedagogik, dan sosial. Karena itu, materi PPG selama empat bulan melatih keterampilan mengajar dan memperdalam wawasan keilmuan guru. Akan tetapi, hanya sebagian saja yang mengalami peningkatan kompetensi. Kelulusan mereka di bawah 70 persen. Mereka masih bisa mengulang hingga enam kali ujian, dengan syarat biaya ditanggung sendiri.
Pada saat ujian tulis secara daring, beberapa guru gagap menggunakan komputer. Ketika ujian praktik pun, metode mengajar masih dominan ceramah. Padahal, yang tertulis di Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mereka sudah pembelajaran aktif. Apa yang dilakukan guru di depan kelas, tidak sesuai dengan apa yang tertulis.
Minim Pengaruh
Pengaruh PPG terhadap peningkatan kompetensi guru belum maksimal. Asumsi perubahan sertifikasi guru dari 11 hari (PLPG) menjadi empat bulan (PPG) agar lebih efektif, tidak sepenuhnya terbukti. Yang pasti, biaya yang dikeluarkan pemerintah dan guru lebih besar. Pemerintah menanggung biaya pendidikan, dan guru menanggung biaya kebutuhan sehari-hari selama pendidikan.
Hal ini terjadi karena usia guru yang tidak muda lagi, semangat belajar rendah, dan kualitas awal guru yang rendah. Bagi guru peserta PPG yang sudah tua, berlaku pepatah lama, “belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu, belajar di waktu besar seperti melukis di atas air”. Tidak mudah mengubah sikap dan cara berpikir mereka. Ingatan tidak lagi tajam, tetapi mudah lupa.
Guru yang mengikuti PPG bukan murni untuk menuntut ilmu, tetapi karena terpaksa agar mendapatkan sertifikat pendidik. Inilah satu-satunya jalan agar guru mendapatkan TPG. Antusiasme belajar saat PPG tidak terlihat. Padahal, empat bulan merupakan waktu yang cukup untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan merubah sikap.
Guru yang mengikuti PPG saat ini sebagian besar adalah non-PNS atau honorer yang saat perekrutannya dulu tidak dengan kompetensi tinggi atau seleksi yang ketat. Sekolah mencari mereka yang mau mengajar saja, bukan yang kompeten. Meski pengalaman mereka belasan bahkan puluhan tahun, tetapi pengetahuan dan keterampilannya ketinggalan zaman.
Solusi masalah ini adalah pertama, memperbanyak LPTK pelaksana PPG. LPTK negeri diberi kesempatan membuka Prodi PPG, sehingga guru bisa mendaftar melalui kampus terdekat. Syarat-syarat yang memberatkan LPTK diturunkan karena mereka pasti akan bekerjasama dengan sekolah-sekolah (dan guru) sekitarnya.
Kedua, standar perekrutan guru non-PNS di sekolah negeri dan swasta di bawah pengawasan pemerintah daerah. Mereka yang menjadi guru harus lulusan sarjana yang memiliki nilai yang bagus, berprestasi, lulus tes praktik mengajar, dan tes psikotes calon guru. Hal ini bisa dilakukan jika pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan standar minimal gaji guru.
Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. (mf)