Pramoedya dan Warisan Perlawanan: Memupuk Keberanian dari Karya Pram
Gedung FITK, Berita FITK Online - Pada Rabu, 26 Februari 2025, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan diskusi dengan tajuk ”Warisan Perlawanan Pramoedya Ananta Toer Memupuk Keberanian di Karya Pram” atas kolaborasi antar komunitas yang terdiri dari Tukar Pandang, Pojok Baca Danarto, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Komunitas Lorong, dan Sakustik, serta didukung oleh Ketua Program Studi PBSI, Dr. Ahmad Bahtiar, M.Hum. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Peringatan Seabad Pramoedya Ananta Toer bertajuk “Suara yang Tak Pernah Padam” yang terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu pameran, diskusi, dan menonton bersama film Bumi Manusia.
Pada hari pertama, telah dibuka pameran dengan tajuk “Mengingat kembali Pram: Arsip, Tulisan dan Warisan” yang bertempat di ruangan KI-K. 0308,00 lantai 3 gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Lalu, pada hari kedua, telah diadakan diskusi Pramoedya Ananta Toer, bertajuk “Warisan Perlawanan Pramoedya Ananta Toer: Memupuk Keberanian dari Karya Pram” bertempat di Ruang Teater lantai 3 FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menghadirkan dua pembicara utama, yaitu Lambertus Berto Tukan M.Fil, seorang penulis dan peneliti lepas, serta Indah Fadhilla M. Hum, dosen konsorsium sastra di PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lalu pada hari ketiga, rangkaian acara ini akan ditutup dengan menonton bersama film Bumi Manusia, adaptasi novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berlangsung di Ruang Teater lantai 3 FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua rangkaian Acara ini terbuka untuk umum.
Diskusi bertajuk ”Warisan Perlawanan Pramoedya Ananta Toer Memupuk Keberanian di Karya Pram” berlangsung di Ruang Teater lantai 3 FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran, menyanyikan bersama lagu Indonesia Raya kemudian pembukaan oleh pewarta acara. Sambutan Pertama dalam diskusi disampaikan oleh Musyaffa Rafif Naufal, selaku ketua pelaksana Satu Abad Pramoedya Anata Toer. Naufal menegaskan bahwa diskusi ini merupakan hasil kolektif, kolaborasi banyak organisasi yang peduli terhadap warisan intelektual Pramoedya. Harapnya agar dapat memberikan manfaat, hiburan dan wawasan lebih mengenai kehidupan pribadi maupun sosial Pram.
Sambutan kedua disampaikan oleh Dr. Ahmad Bahtiar M.Hum., ketua Program Studi PBSI. Dalam kesempatan ini, Bahtiar menyoroti bahwa program studi PBSI aktif menggelar berbagai kegiatan akademik dan budaya. “PBSI setiap Rabu akan mengadakan acara berjudul Binar, Bincang-bincang Asyik di hari Rabu” ujar Bahtiar pada Rabu (26/02/25). Diskusi dimoderatori Nayla Authar dengan pembukaan bahwa Pram tidak sekadar menulis, tetapi mencatat sejarah bangsa melalui karyanya.
Pada sesi diskusi, Fadhilla menekankan bahwa karya-karya Pram bersifat reflektif, menggambarkan keadaan sosial-politik di Indonesia pada zamannya. Ia melihat bagaimana hidup Pram sebagai nahkoda yang hebat, lahir dari ombak besar. Karya Pram sendiri pernah dilarang beredar dan dibaca oleh Kejaksaan Agung, namun hal itu tidak menghentikannya untuk terus berkarya dan menyampaikan kebenaran lewat tulisannya.
“Harapannya Bu Astuti Ananta Toer (Putri Pram), Pram akan sangat suka jika pembacanya menjadi pintar dan berani, harus ada keberanian dalam diri kita untuk mengkritisi kondisi hari ini” Ujarnya pada Rabu (26/02/25)
Fadhilla kemudian mengutip pernyataan Dr. Remco Raben, Profesor Sastra Kolonial dari Universitas Amsterdam, bahwa Pram tidak hanya berbicara untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia tentang kegagalan keadilan dan kemanusiaan di zaman kolonial. Fadhilla juga menyoroti relevansi pemikiran Pram hingga hari ini, terutama dalam representasi perempuan melalui sosok Nyai Ontosoroh.
Tukan kemudian melanjutkan diskusi dengan membahas bahwa Pram tidak hanya menulis novel berlatar sejarah, tetapi juga menulis novel sejarah yang mampu menghadirkan perspektif berbeda bagi pembacanya. Diskusi juga membandingkan perubahan gaya dan tema tulisan Pram sebelum dan setelah tahun 1965. Sebelum tahun itu, Pram sering menjadi komentator sosial yang tajam, salah satunya dalam menyoroti korupsi, kehidupan Jakarta dan perempuan di dunia hiburan. Namun, setelah 1965, saat diasingkan ke Pulau Buru, Pram mulai menulis novel-novel sejarah, seperti Tetralogi Buru, Arok Dedes, dan Arus Balik.
Ia juga membahas bagaimana novel Arus Balik, merupakan metafora dari judulnya, yang menyatakan bahwa seharusnya arus air laut itu dari Timur ke Barat, tetapi sekarang beralih menjadi Barat ke Timur. “Kalau dulu India, Arab, lalu ke Barat. Sekarang, Eropa lah yang selalu membawa sesuatu kepada kita. Dekadensi kita sekarang adalah mental ” Ujar Tukan pada Rabu (26/02/25)
Tukan kemudian menekankan bahwa Pram tidak memiliki kesempatan untuk membaca karya-karya terbaru, terutama saat diasingkan di Pulau Buru. Namun, ia tetap mampu melahirkan gagasan-gagasan yang hingga kini relevan. Kita sering kali menganggap bahwa teori-teori besar selalu berasal dari Barat, padahal Indonesia juga memiliki pemikir hebat. Karena itu, kita perlu membaca lebih kritis dan merayakan seabad Pram bukan sekadar sebagai peringatan, tetapi sebagai upaya meneruskan pemikirannya.
Di akhir diskusi, peserta diajak untuk merefleksikan apa yang bisa diambil dari warisan Pram untuk masa kini. ”Bukan sekadar merayakan, tetapi bagaimana kita mengambil Pram untuk hari ini. Apa sebenarnya hal penting dari perayaan ini jika tidak berdampak pada kita? Jika kita tidak menghasilkan apa-apa dari perayaan ini, maka itu percuma. Kita harus bisa mengambil sesuatu dari Pram, baik secara pribadi maupun untuk komunitas kita sendiri. Satu hal yang menarik, saya kira, dari sini teman-teman sudah menghasilkan sesuatu—Pameran. Dan saya rasa itu sesuatu yang sangat oke, sangat berarti," tambahnya pada Rabu (26/02/25).
Tukan menuturkan bahwa tradisi akademik di UIN Jakarta telah lama membahas pemikiran Pram, terbukti dengan banyak skripsi dan penelitian yang mengangkat karya Pram dan akan sangat menarik apabila ditampilkan di pameran yang akan datang.
Antusiasme peserta terlihat jelas dalam sesi tanya jawab kepada narasumber yang berlangsung setelahnya. Banyak yang merasa bahwa karya-karya Pram tetap relevan dalam membaca situasi sosial-politik Indonesia saat ini. Acara ini pun menjadi pengingat bahwa meski Pram telah tiada, pemikirannya akan terus hidup dalam setiap pembaca yang berani berpikir dan mencari kebenaran.
Reporter: Irhamna/ Fakhri Ardan Naashir